REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agar kejadian penggusuran Kampung Pulo tidak terulang, Wakil Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris menilai perlu ada “moratorium penggusuran”. Hal ini terkait dengan penggusuran warga Kampung Pulo oleh Satpol PP DKI Jakarta yang berujung bentrokan.
Menurut Pemprov DKI, salah satu solusi menata Jakarta agar terhindar dari banjir adalah dengan melakukan normalisasi Sungai Ciliwung. Alhasil, Pemprov DKI Jakarta meratakan Kampung Pulo yang terletak di bantaran Sungai Ciliwung dan dihuni masyarakat selama tiga generasi. Akibatnya, penggusuran tersebut berujung bentrokan antara warga Kampung Pulo dengan polisi dan Satpol PP, Kamis (20/8).
Fahira menyakini ada alasan yang kuat sehingga warga berani melawan petugas dan polisi. Untuk itu, agar kejadian Kampung Pulo Tak Terulang, Pemprov DKI bisa bersikap bijak untuk sementara memoratorium (penghentian sementara) penggusuran kampung-kampung lain di bantaran Sungai Ciliwung. Menurut Fahira, Pemprov perlu memastikan apakah pernah ada kesepakatan dengan warga. Selain itu, Pemprov juga perlu mencari tahu apakah kampung yang direncanakan digusur pernah dijanjikan akan dibangun Kampung Deret atau tidak.
“Dulu sempat dijanjikan akan di bangun kampung deret di lokasi yang sekarang diratakan. Bukan direlokasi ke rusun. Bahkan saya dengar konsepnya sudah dipresentasikan ke Pemprov DKI. Nah, kalau tiba-tiba berubah, warga pasti kecewa. Apalagi saat alat berat datang, di lokasi masih ada warga,” ujar Fahira.
Menurut Fahira bila berpikir praktis, warga yang digusur akan mendapatkan rusun dan persoalan selesai. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Pasalnya, mereka sudah tiga generasi tinggal di sana sehingga sudah terbangun pranata-pranata sosial. Terutama ikatan kekeluargaan yang kuat serta demensi ekonomi dan sosial yang sudah lekat dalam keseharian mereka.