REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Banyak hal yang perlu dipikirkan sebelum membentuk suatu daerah otonom baru (DOB). Wakil Ketua DPD RI, Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengatakan untuk membangun sebuah daerah otonom baru (DOB), pemerintah daerah tidak hanya memikirkan bagaimana mengembangkan sumber daya alamnya, tetapi juga harus menyiapkan sumber daya manusianya.
"Untuk sebuah daerah otonom baru kita jangan hanya memikirkan apa yang harus diperoleh dan dikembangkan jika menjadi daerah otonom baru, tetapi juga hal utama yang harus diperhatikan adalah adalah soal sumber daya manusianya," ujarnya, Jumat (21/8).
Menurutnya, untuk membangun sebuah daerah otonom baru, pihaknya juga selalu berhati-hati dalam pengawalan. Sebab dari yang ia ketahui banyak daerah pemekaran yang tidak berhasil dan tidak bisa membangun daerah tersebut. Oleh karena itu ia meminta agar setiap daerah yang ingin menjadi daerah otonom harus dipikirkan matang-matang sebelum disahkan.
"Jangan sampai setelah berdiri sendiri lewat beberapa tahun bingung mau ngapain," ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Yohanis Stefanus Kotan mengatakan pembangunan di NTT belum mendukung pembukaan daerah otonom baru (DOB). Padahal, tujuan DOB adalah mensejahterahkan rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 pasal 31 ayat (2).
"Menurut Presiden Joko Widodo, sebanyak 87 DOB tidak terburu-buru direalisasi pembentukannya. Itu artinya, pengajuan 87 DOB itu belum dibahas," kata Yohanis.
Dia menyebutkan, dalam kurun waktu 1999 hingga 2003 terdapat penambahan 220 DOB. Sampai dengan saat ini terdapat 542 DOB, dan 102 DOB diantaranya merupakan inisiatif lembaga DPR. Menurut Yohanis, DOB bermasalah karena bernuansa politik. Lebih dari itu, DOB menjadi beban bagi pemerintah pusat sehingga perlu dievaluasi kembali agar terjadi keseimbangan antara pusat dan daerah disegala sektor pembangunan.
Dia mengatakan, NTT adalah daerah kepulauan sehingga biaya transportasi sangat mahal. Hal ini juga disebabkan karena dukungan anggaran melalui APBN, APBD provinsi dan kabupaten/kota sangat minim. Selain itu, lambatnya pembangunan di daerah, khususnya di NTT, disebabkan karena minimnya investor yang berinvestasi dan terbatasnya pendanaan jangka panjang. Yohanis menyarankan sebaiknya pemerintah pusat melakukan desain pengembangan yang mempertimbangkan keragaman karakteristik daerah di Indonesia.