REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bencana asap yang terus melanda beberapa wilayah di Provinsi Sumatera dan Kalimantan, sudah memakan korban terutama bayi. Di Palembang saja, sudah ada tiga bayi yang meregang nyawa diduga kuat akibat asap.
Bahkan, yang sangat memilukan salah seorang bayi (Latifa Ramadani, usia 1 tahun 3 bulan), yang sempat dirawat intensif di sebuah rumah sakit, namun karena keterbatasan biaya, orang tuanya terpaksa memindahkan balita ke rumah sakit lain yang lebih terjangkau, hingga akhirnya meninggal dunia.
Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris yang salah satu lingkup tugasnya pengawasan pelayanan kesehatan mengatakan, kejadian ini menunjukkan bahwa sensitifitas pelayanan kesehatan di daerah bencana asap cukup memperihatinkan. Andai bayi tersebut oleh orang tuanya tidak dipindahkan ke rumah sakit lain karena keterbatasan biaya, mungkin nyawanya bisa tertolong.
"Kalau kejadian ini tidak membuka mata Pemerintah, saya rasa ini sudah kelewatan. Pemerintah harus keluarkan kebijakan kepada seluruh rumah sakit baik swasta maupun pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan kelas satu kepada korban asap terutama bayi, baik peserta BPJS Kesehatan maupun bukan, di mana semua biaya akan ditanggung pemerintah. Pokoknya, prioritasnya bagaimana nyawa bayi korban asap bisa selamat," ujar Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta belum lama ini.
Menurut Fahira, dari laporan yang dihimpunnya, sensitifitas tenaga pelayanan kesehatan di daerah bencana juga perlu ditingkatkan. Gejala apapun yang diderita bayi di daerah yang terpapar asap, termasuk gejela yang tidak ada hubungannya dengan saluran pernapasan misalnya diare harus harus ditindaklanjuti dengan serius dan menjadi perhatian utama.
"Polusi udara yang parah akibat asap ini bukan hanya menyerang pernapasan, tetapi juga pencernaan. Makanya, banyak bayi di daerah bencana yang gejala awalnya itu terkena diare baru kemudian terkena ISPA. Jangan hanya karena gejala diare, dianggap tidak ada hubungannya dengan asap. Bayi itu daya tahan tubuhnya rentan. Sekali lagi saya sampaikan, Pemerintah Pusat instruksikan semua rumah sakit di daerah bencana untuk berikan pelayanan kesehatan kelas satu kepada semua bayi korban asap," tegas Senator asal Jakarta ini.
Fahira mengungkapkan bencana asap ini juga telah menyadarkan kita, bahwa Indonesia sama sekali belum menjadikan anak sebagai subjek yang tak terpisahkan dalam perancangan dan penerapan kebijakan, rencana, dan standar penanggulangan bencana, padahal merekalah yang paling menderita dari setiap bencana.
Untuk itu, dalam waktu dekat, DPD akan bicarakan soal perlindungan anak saat bencana dengan kementerian/lembaga terkait terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, KPAI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, termasuk dengan BNPB.
"Saya berharap ke depan kita punya sistem yang rapi, terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan serta menjamin kebutuhan anak, termasuk dalam pencegahan maupun penanggulangan situasi bencana. Ini penting, karena peradaban sebuah bangsa itu dilihat dari bagaimana bangsa tersebut melindungi anak-anaknya," tukas Fahira.