REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki urgensi tinggi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, sehingga usulan pembubaran DPD dinilai sebagai langkah kemunduran konstitusi. Demikian disampaikan Dosen FH UGM, Zainal Arifin Mochtar dalam Dialog Kenegaraan yang diselenggarakan di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu, (10/2).
Menurut Zainal, keberadaan DPD RI merupakan salah satu urgensi tinggi dalam sistem parlemen di Indonesia. DPD yang merupakan wakil dari daerah mampu menjadi penyeimbang (kamar kedua) dalam penguatan sistem parlemen di Indonesia.
"Jika melihat urgensi DPD hampir semua analisis membenarkan memang DPD sangat urgen. Jika dilihat dari historisnya, DPD mengganti keberadaan utusan daerah yang telah ada sebelumnya. Jika dilihat dari ketatatanegaraan DPD juga hadir untuk menguatkan sistem parlemen dalam proses legislasi," tuturnya.
Zainal mengatakan, saat ini terbatasnya kewenangan DPD menyebabkan kinerjanya tidak optimum. Ia mengungkapkan, sistem parlemen di Indonesia tidak mendukung fungsi DPD dalam menjalankan fungsi sebagai kamar kedua.
"Perubahan sistem tata negara dari satu kamar menjadi dua kamar dikarenakan untuk memperkuat proses legislasinya. Tetapi sistem kita tidak menyokong itu. Sistem kita yang dua kamar tetapi secara struktur tidak mendukung hal tersebut. DPD mendapat porsi yang sangat kecil mengenai kewenangannya," tuturnya.
Zainal menambahkan wacana pembubaran DPD lebih dilatarbelakangi permasalahan politis, bukan didasari permasalahan ketatanegaraan dan hukum. "Sebenarnya ini bukan problem hukum, bukan problem cita-cita negara demokrasi, bukan problem membangun kekuatan parlemen, bukan problem presidensil, tetapi problem politik. Permasalahannya adalah mau tidak membagi kue kekuasaan politik. Maukah porsi itu dibagi atau tidak," kata Zainal mengungkapkan.
Masih menurut Zainal, jika DPD dibubarkan, adalah langkah mundur dalam sistem parlemen di Indonesia. "Kalau DPD dibubarkan adalah cara pandang yang side back. Kalo DPD dibubarkan, maka KY dan MK juga dibubarkan. DPD dibubarkan menurut saya adalah sebagai perantara untuk menciptakan sistem parlementer sebagai tempat tertinggi," katanya menegaskan.
Mengenai legitimasi DPD, Menurut Zainal, perlu dikaji lebih lanjut, termasuk tentang lokus kerja DPD apakah di daerah ataupun di pusat. Tidak adanya kejelasan tersebut menyebabkan DPD rentan dengan politisasi.
Menurut Zainal, adanya penguatan DPD sebagai lembaga parlemen bersama DPR harus mengarah pada perwujudan effective bicameralism, bukan strong bicameralis. Hal tersebut bertujuan agar terdapat kerja sama dan penguatan antar lembaga parlemen dalam proses legislasi dalam sistem tata negara di Indonesia.