REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekisruhan rapat paripurna DPD RI, Kamis (17/3) diklaim bukan soal pemangkasan masa jabatan 2,5 tahun. Namun, persoalan di DPD lebih pada beda pendapat soal perubahan tata tertib DPD RI.
Bahkan, persoalan di DPD sudah dimulai sejak tahun lalu. Perbedaan pendapat itu terkait soal perubahan tatib apakah dilakukan secara menyeluruh atau sebagian (adendum).
Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad mengatakan draf tata terbit yang dibuat belum mendapat kesepakatan. Bahkan, draf tatib melalui keputusan politik tanggal 15 Januari 2016 terdapat ratusan pasal-pasal yang salah dan bertentangan dengan UU.
Menurut Farouk, DPD sudah meminta pendapat pakar hukum soal draf tatib tersebut. Hasilnya, draf tatib dinilai tidak bisa diundangkan dan tidak bisa dilaksanakan.
Namun, Badan Kehormatan DPD justru menilai pendapat itu ‘debatable’. Hal ini semakin membuat dua pihak yang berbeda pendapat soal draf tatib tidak menemukan solusi penyelesaian. Maka Pimpinan DPD akan menyerahkan persoalan ini pada Mahkamah Agung (MA).
"Kemarin memang tidak bisa ketemu solusinya, makanya serahkan ke ahlinya, ke Mahkamah Agung (MA)," ujar Farouk di kompleks parlemen Senayan, (18/3).
Ketua DPD RI, Irman Gusman menegaskan, sikapnya tidak bersedia menandatangani draf yang disodorkan BK bukan karena memermasalahkan soal pemangkasan masa jabatan.
Namun, lebih pada soal masih adanya masalah dalam draf di tatib yang sudah dibuat. Selain soal draf tatib, mekanisme yang dibangun untuk membuat tatib juga menabrak UU. Bahkan, Irman mengaku dirinya bukan dipanggil oleh BK, tapi meminta dipanggil BK agar dapat menjelaskan persoalan tentang perbedaan pandangan itu.
"Putusan 15 Januari lalu saat itu situasinya tidak kondusif, saya katakan kalau diputuskan nanti jangan sampai melanggar UU, saya minta BK mengkaji," ujar Irman ditemui di kantornya.
Irman menambahkan, pimpinan DPD ingin menjaga marwan lembaga ini. dalam draf tatib yang tidak ditandatangani Ketua DPD tersebut, memiliki komplikasi hukum yang banyak.
Terutama adanya beturan dengan UU. Namun, unsur pimpinan mengaku heran, pimpian BK memaksakan agar draf itu ditandatangani oleh Ketua DPD.
Bahkan, permintaan tandatangan di sidang paripurna itu melanggar mekanisme yang ada. Seharusnya, permintaan tanda tangan melalui Kesekretariat Jenderal DPD terlebih dahulu untuk dikoreksi, bukan langsung ke pimpinan DPD.
"Kalau salah redaksi apa (pimpinan) langsung menandatangani, apalagi salah substansi," tegas dia.
Sebab itu, pimpinan DPD akan meneruskan persoalan ini untuk meminta fatwa dari MA. Senator dari Sumatera Utara ini mengatakan, awal pekan depan pimpinan akan menggelar rapat untuk membahas persoalan ini.
Opsi untuk meminta fatwa dari MA menjadi pilihan paling bagus untuk menyelesaikan persoalan perbedaan pendapat di internal DPD saat ini.