REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris mengatakan, aksi besar-besaran para sopir taksi terjadi karena mereka menganggap ‘diganggu’ dengan angkutan umum lain yang lebih efisien berbasis aplikasi online.
Apalagi angkutan berbasis aplikasi tersebut banyak dipilih orang. Kondisi ini, ujar dia, mengakibatkan penghasilan mereka berkurang.
"Sementara setoran ke perusahaan tidak mungkin berkurang ini membuat para sopir taksi menjadi frustasi dan melakukan kekerasan," ujarnya, Kamis, (24/3).
Pemerintah, terang Fahira, seharusnya bisa mendeteksi protes besar-besaran para sopir taksi menolak angkutan umum berbasis aplikasi online pasti akan pecah. Kejadian seperti ini juga sudah terjadi di banyak negara antara lain Perancis dan Mexico.
Saat ini baik pengemudi dan perusahaan angkutan konvensional merasa diperlakukan tidak adil. Sebab mereka diikat berbagai regulasi tetapi angkutan online tidak.
Oleh karena itu, pemerintah pusat harus segera melahirkan regulasi atau payung hukum tentang angkutan umum berbasis online. Ini berlaku di semua daerah sehingga kejadian di Jakarta ini tidak terulang di daerah lain.
"Aturan hukum yang jelas dan tegas adalah solusi yang paling adil. Jadi regulasi ini nantinya mengarahkan adanya persaingan sehat antara transportasi konvensional dengan online."
Pemerintah juga sudah bisa menginisiasi revisi Undang-undang (UU) terkait misalnya UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan bila perlu UU ITE agar payung hukumnya komprehensif.