REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Akhmad Muqowam mengungkapkan bahwa secara umum lebih sulit melahirkan seorang politikus yang tangguh dan berintegritas dibandingkan dengan birokrat atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang baik.
“Melahirkan politisi yang tangguh dan punya integritas itu tidak gampang, kuncinya adalah konsistensi dan dalam budaya politik yang baik,” ungkap Muqowam dalam diskusi kajian Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan Tidak Langsung di Gedung Pakarti, Jakarta, Senin (15/10), seperti dalam siaran persnya.
Lebih lanjut Muqowam menjelaskan pembentukan budaya politik tersebut berawal dari dasar hukum yang benar dan tradisi masyarakat yang baik. “Kita tidak perlu buru-buru, tapi kita harus mendekontruksikan secara benar dulu dasar hukumnya,” tegas senator dari Jawa Tengah ini.
Presiden Institut Otonomi Daerah (I-OTDA) Djohermansyah Djohan mengatakan latar belakang dilangsungkannya acara tersebut yaitu melihat kondisi pilkada yang digelar secara langsung kembali ‘hopeless’. Sebab marak akan politik uang, kapasitas ‘governing’ kepala daerah tidak membaik karena rendahnya kreasi dan inovasi, korupsi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak kunjung usai.
“Acara ini bertujuan untuk mengkaji dan mengevaluasi penyelenggaraan pilkada secara langsung dan tidak langsung serta solusi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah ke depannya,” jelas Djohermansyah. Acara yang diselenggarakan oleh I-OTDA dan Ditjen Kemendagri tersebut menghadirkan Soni Sumarsono (Dirjen OTDA Kemendagri RI), sejumlah praktisi dan peneliti.
Dirjen OTDA Soni Sumarsono mengatakan bahwa untuk menghasilkan Kepala Daerah yang baik maka perlu adanya pengawalan proses demokrasi dan kontestasi politik yang bermartabat. Untuk mencapai kondisi tersebut Soni berpendapat pentingnya pendidikan politik.
“Selama ini pendidikan politik diserahkan kepada partai, tapi apakah efektif? Saya kira jika I-Otda bisa membuat sekolah politik lintas partai untuk membangun pendidikan demokrasi yang bermartabat,” kata Soni.
Sementara itu peneliti LIPI Firman Noor mengatakan bahwa pilkada langsung yang terjadi sekarang membutuhkan biaya politik tinggi, sehingga melahirkan tindakan korupsi. Data menunjukkan bahwa sejak 2006 jejak korupsi kepala daerah semakin meningkat.
“Parpol menjadi epicentrum pusat gempanya, tidak mampu mencetak kadernya yang berkualitas sehingga memakai cara lain yang instan,” ungkap Firman Noor.
Peneliti LIPI Siti Zuhro menambahkan bahwa fenomena yang terjadi sekarang diantaranya karena partai politik belum maksimal melaksanakan fungsinya sebagai pilar demokrasi, kesadaran politik rakyat pemilih belum memadai, masalah independensi atau netralitas KPUD dan Panwas, politisasi birokrasi dan pemanfaatan fasilitas birokrasi untuk pilkada, politik uang dan kekerabatan, serta pilkada yang belum disemarakkan oleh calon perseorangan.
“Maka dari itu pilkada ke depan adalah pilkada yang efektif, efisien dan sarat pembelajaran yang mencerahkan masyarakat,” kata Siti Zuhro.