REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tata tertib (tatib) Dewan Perwakilan Daerah untuk periode 2019 - 2024 mengalami pengubahan. Pengubahan tatib itu tujuan utamanya untuk mengakomodasi anggota DPD yang berasal dari daerah pemekaran baru. Tatib itu juga disesuaikan dengan UU MD3.
Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD, Mervin S Komber mengatakan, ada sejumlah pasal dan kode etik dalam Tatib baru. Pengubahan itu berdasarakan keputusan Pleno Badan Kehormatan, yang sepakat agar penyusunan tatib didasari juga oleh kode etik DPD.
“Dasarnya itu kode etik DPD. Wajar saja dan tidak berlebihan, Hal itupun telah disepakati seluruhnya," ucap Mervin dalam keterangannya, Senin (23/9).
Dia menegaskan, perubahan tatib ini sebenarnya untuk menyempurkan tatib sebelumnya agar para anggota DPD bekerja maksimal sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya di periode-periode berikutnya.
"Intinya tatib baru ini untuk penegakkan citra dan martabat lembaga. DPD harus menjadi contoh bagi rakyat, karena DPD diisi oleh para tokoh-tokoh daerah yang berkualitas," ujar dia.
Adapun pengubahan yang dimaksud, bunyi poin pertama pada tatib sebelumnya yakni, 'Provinsi Kalimantan Utara (provinsi baru hasil pemekaran) hanya disebutkan diawal, sehingga tidak bisa ikut dalam pembagian alat kelengkapan di DPD'. Kemudian diubah menjadi 'Provinsi Kalimantan Utara secara teknis diatur pada semua alat kelengkapan dan secara otomatis kedudukannya dalam dalam alat kelengkapan sama dengan provinsi lain'.
Kedua, 'Pengambilan perjalanan dinas tidak bisa dilakukan sebelum terbentuknya alat kelengkapan PURT'. Perubahannya yaitu, 'Anggota DPD bisa langsung mengambil perjalanan dinas'. Kemudian poin ketiga, pada periode ini 'Anggota DPD tidak punya kewenangan menentukan anggaran DPD karena Ketua PURT adalah pimpinan DPD (Ex Officio)' dan di periode nanti menjadi 'Anggota DPD mempunyai kewenangan mengatur anggaran DPD karena anggota yang berhak menjadi pimpinan PURT'.
Poin keempat, yaitu 'Anggota DPD pada alat kelengkapan tidak bisa melakukan kunjungan keluar negeri' dan perubahannya 'Semua anggota DPD di alat kelengkapan manapun dapat melaksanakan kunjungan kerja ke luar negeri'. Kemudian poin kelima adalah 'Untuk DPD yang melaksanakan perjalanan dinas ke provinsi bukan dapilnya hanya mendapatkan uang perjalanan dinas dan tidak mendapatkan uang kegiatan', lalu dirubah menjadi 'Anggota DPD yang melaksanakan perjalanan dinas diluar dapilnya, mendapat uang perjalanan dinas dan uang kegiatan'.
Dipoin keenam, 'Untuk Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat tidak diakomodir pengawasan Perdais, Qanun, Perdasi dan Perdasus (PULD)' menjadi 'Untuk Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat telah diatur agar dapat mengevaluasi rancangan Perdais, Qanun, Perdasi dan Perdasus'.
Sementara poin ketujuh 'dan Pembagian alat kelengkapan menjadi tidak berimbang karena tidak ada aturan yang tegas (hal ini menimbulkan kecemburuan anggota DPD dalam satu provinsi', kemudian dipersingkat menjadi 'Anggota DPD dibagi merata disemua alat kelengkapan'. Poin kedelapan yang sangat penting dan termaktub 'Pimpinan DPD dapat tidak melaporkan kinerja setiap tahun' dan dirubah 'Pimpinan DPD wajib melaporkan laporan kinerja setiap tahun dalam sidang paripurna'.
Tak kalah penting poin kesembilan sebelumnya berbunyi 'DPD berpotensi dipimpin oleh tersangka seorang pelanggar kode etik, orang yang malas mengikuti kegiatan DPD' dan dirubah bunyinya menjadi 'DPD akan dipimpin oleh pimpinan yang negarawan, tidak cacat etika dan bukan merupakan tersangka'. Untuk poin terakhir yaitu, 'Anggota lembaga pengkajian MPR bisa bukan berasal dari DPD' dan perubahannya adalah 'Anggota lembaga pengkajian MPR wajib berasal dari DPD'.