REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berharap pimpinannya untuk periode 2019-2024 terbebas dari persoalan hukum dan etik. Hal ini sesuai dengan tata tertib DPD RI.
Tata tertib DPD yang baru saja disetujui menambah dan menyempurnakan soal kode etik. Ketua Badan Kehormatan DPD RI Marvin S Komber dalam keterangan tertulisnya menegaskan, orang yang sedang dalam status tersangka dan sudah dijatuhi sanksi BK tak bisa jadi pimpinan DPD.
"Jika aturan itu dianggap bermasalah, dimana letak masalahnya? Seseorang yang sudah diberhentikan BK, disanksi karena banyak bolos, terus diberi hak untuk jadi pimpinan, buat apa ada sanksi? Nanti para senator jadi malas, banyak bolos, alasannya berkaca pada pimpinan," jelas Marvin dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/9).
Pengamat politik UIN Jakarta Adi Prayitno menilai, pimpinan DPD RI periode 2019-2024 nanti memang terbebas dari permasalahan hukum dan persoalan etik. Hal ini bertujuan agar dalam lima tahun ke depan, marwah kelembagaan DPD RI tetap terjaga.
"Harus bebas dari masalah hukum dan etik karena DPD RI kan lembaga kenegarawanan yang mesti dijaga marwahnya," kata Adi dalam keterangannya, Kamis (26/9) lalu.
Adi melanjutkan, di samping bebas dari permasalahan etik, sosok pimpinan DPD RI juga harus negarawan yang bisa melebur dan diterima semua kalangan. Sebab, fungsi utama DPD RI adalah representasi daerah untuk diperjuangkan aspirasinya di level pusat.
"Karenanya pimpinan DPD RI harus fleksibel dan bisa membangun jembatan harmonis dengan DPR," kata Adi.
Sejumlah nama diketahui mulai muncul sebagai sebagai calon pimpinan DPD RI, di antaranya Wakil Ketua DPD RI pejawat Nono Sampono. Menurut Adi, Nono selama ini dinilai mampu membuka komunikasi dengan semua kalangan.
Kendati demikian, lanjut dIa, bagaimanapun semua calon pimpinan tergantung pada hasil musyawarah mufakat di DPD RI. "Cocok dan potensial (menjadi pimpinan DPD RI). Tergantung musyawarah mufakat di DPD nantinya," ujar dia.
Adi juga menambahkan, DPD RI harus menjadi lembaga yang kuat dengan adanya pemberian kewenangan dan fungsi yang lebih. "Kalau mau memperkuat DPD fungsinya harus dirubah dimana DPD harus diberikan kewenangan untuk bisa terlibat dan menentukan UU. DPD itu ada tapi seperti tiada karena tak punya kewenangan regulatif," ujar dia menambahkan.