REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penghentian kebijakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) akibat berlakunya UU Desa pada tahun 2015 disinyalir adanya potensi penyelewengan dana oleh aparat desa, kurang lebih dana tersedia sekitar 1,9 triliun dari World Bank.
"Kami meminta kepada Gubernur Jateng untuk mengamankan dana milik rakyat itu, kalau pemerintah dalam hal ini pemprov tidak mau mengambil alih, dana itu bisa diselewengkan," ujar anggota Komis VI Bowo Sidik Pangarso saat melakukan rapat kerja dengan Gubernur Jateng, di Kantornya, Semarang Senin (28/3).
Menurutnya, hal ini terjadi karena setiap pergantian Presiden memiliki kebijakan masing-masing. PNPM berlaku hanya saat era Presiden SBY, walaupun sampai saat ini belum ada payung hukum terhadap dana itu.
Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo menjelaskan, pada akhir era Presiden SBY, pihaknya sudah meminta agar dana PNPM bisa diberikan payung hukum dan dananya diberikan kepadanya.
"Barangya sudah selesai, tapi payung hukumnya belum ada, saya juga menginginkan dari Kemendagri atau BAPPENAS memberikan segera payung hukum," tekannya.
Menurut Ganjar, ada hal yang tidak sesuai dengan sistem PNPM tentang pendamping desa. Dalam sistem tersebut 1 orang diharuskan mendampingi 4 desa.
"Kami sudah bisa membiayai sendiri dengan uang 34 milyar, 1 desa 5 pendamping. Sebenarnya kami juga menolak dana dari World Bank itu, agar terciptanya kemandirian di pemprov" kata Ganjar.
Anggota Komisi VI, Rieke Diah Pitaloka juga mengatakan dirinya setuju dengan langkah Gubernur Jateng. "Karena kita perlu perhitungkan. Apakah betul bantuan murni dari World Bank, saya kira tidak ada makan siang gratis. Bisa jadi ini hutang luar negeri yang masuk melalui kegiatan sosial," tutup dia.