REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu ketimpangan menjadi topik utama yang dibahas dalam Sidang Tahunan IPU (Inter-Parliamentary Union) ke-136 di Dhaka, Bangladesh, yang berlangsung tanggal 1-5 April 2017. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengirimkan tujuh delegasi ke sidang IPU kali ini, yaitu Fadli Zon (Gerindra), Nurhayati Ali Assegaf (Demokrat), Evita Nursanty (PDIP), Anthon Sihombing (Golkar), Irine Yusiana Roba Putri (PDIP), Andi Irawan Darmawan Aras (Gerindra), dan Ferry Kase (Hanura).
Ketua delegasi parlemen Indonesia, Fadli Zon, yang juga Wakil Ketua DPR RI dan Presiden GOPAC (Global Organization of Parliamentarians Against Corruption) dalam pidatonya di sidang IPU menyampaikan bahwa diangkatnya isu ketimpangan menunjukkan bahwa persoalan tersebut kembali menjadi persoalan serius di tingkat global sebagaimana yang pernah terjadi pada dekade 1970-an.
"Tantangan ketimpangan kini memang semakin besar. Di Indonesia, misalnya, selain ketimpangan pendapatan dan pengeluaran yang angka indeksnya pernah mencapai 0,42 pada 2015, juga terdapat ketimpangan kepemilikan lahan. Menurut data BPS (2013), indeks gini tanah nasional mencapai angka 0,72. Sebagai gambaran konkret, sekitar 56 persen lahan yang ada di Indonesia hanya dikuasai oleh 2 persen elite saja. Bagi negara agraris seperti Indonesia, ketimpangan tersebut tentu saja berimplikasi buruk," jelas Wakil Ketua DPR RI tersebut, dalam pers rilisnya, Senin (3/4).
Menurut Fadli, sekitar 56 persen dari penduduk perdesaan kemudian hanya bisa menjadi buruh tani, atau petani gurem. Kata Fadli, itu telah berimplikasi pada angka kemiskinan di perdesaan, di mana sebanyak 62,75 persen penduduk miskin berasal dari sana, dan sebagian besarnya adalah petani.
Lanjut Fadli, oleh karena itu untuk mengatasi masalah ketimpangan, Indonesia telah meningkatkan anggaran pendidikan dan kesehatan, agar orang miskin bisa mendapatkan akses yang sama terhadap dua kebutuhan vital tersebut. Namun, upaya menangani ketimpangan tak cukup dilakukan hanya dengan menangani efeknya saja, tapi juga harus dilakukan dengan menyasar faktor penyebabnya.
"Dan salah satu penyebab terjadinya ketimpangan adalah korupsi. Ada banyak negara menderita karena korupsi, sebab korupsi telah meminggirkan rakyat dari proses pengambilan kebijakan yang adil dan demokratis, yang kemudian berakibat pada terabaikannya hak-hak dasar mereka," tambahnya.
Fadli juga menegaskan tidak akan pernah ada kesetaraan selama masih ada korupsi. Itu sebabnya GOPAC selalu mengajak seluruh anggota parlemen di dunia untuk bersama-sama memerangi korupsi sebagai usaha mengatasi ketimpangan. Dalam posisi sebagai pembuat undang-undang, pengawas pemerintah, dan bagian dari pengontrol anggaran, anggota parlemen memainkan peran penting dalam gerakan pemberantasan korupsi untuk mereduksi ketimpangan.
"Hanya dengan pembangunan tanpa korupsilah kesetaraan dan keadilan bisa dicapai," tutup Fadli.