Jumat 16 Apr 2010 21:05 WIB

Penyakit Hemofilia Masih Rawan Salah Diagnosis

Rep: cr2/ Red: Ririn Sjafriani
.
Foto: corbis
.

JAKARTA--Angka penderita hemofilia atau kelainan pendarahan akibat kurangnya produksi salah satu faktor pembekuan darah atau di Indonesia tercatat 20.000. Data terakhir Maret 2010 dari Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMI) tercatat 1.236 penderita hemofilia dan kelainan pendarahan lain di Indonesia. Artinya, penanganan kasus hemofilia hanya mencakup 5% dari total kasus yang terdiagnosis.

Ketua HMI, Prof. DR.dr. Moeslichan MZ, SpA(K), mengatakan hingga saat ini sebagian penderita kelainan perdarahan di seluruh dunia dan juga di Indonesia belum terdiagnosis secara tepat dan mendapat pengobatan yang sesuai. "Padahal, bila sudah terasa gejalanya apa, tinggal bilang saja ke dokter, Dok, saya sakit hemofilia atau tidak," ujarnya saat berbicara dalam acara Peringatan Hari Hemofilia Sedunia yang berlangsung di Jakarta, Rabu (16/4). 

Turut hadir dalam acara, Hadir pada acara itu Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Hemofilia RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) Prof. Dr. Djajadiman Gatot, SpA(K).

Prof Moeslichan mengaku, masih banyaknya penderita yang tak tercatat, terdiagnosa dan terobati ditenggarai oleh ragam masalah seperti minimnya fasilitas pemeriksaan di tempat-tempat layanan kesehatan, mahalnya harga pengobatan, hingga miskinnya informasi dan pelaporan masyarakat tentang penyakit ini.

Padahal, pengobatan dan penanganan yang tepat menjadi hal yang penting untuk menyelamatkan penderita hemofilia dari ancaman kematian. "Dunia kedokteran saat ini sebenarnya sudah mampu mengatasi masalah hemofilia. Sayangnya, pengobatan hemofilia ini masih mahal dan harus dilakukan seumur hidup.  Di Indonesia, masalah hemofilia ini belum terurus," ujarnya.

Guna memudahkan penanganan kasus hemofilia, Moeslichan menyarankan kepada para orang tua untuk tidak sungkan-sungkan menanyakan kepada dokter di rumah sakit atau Puskesmas apabila anak atau bayi mereka dicurigai mengalami gejala-gejala mirip hemofilia. Gejala yang patut dicurigai adalah bila anak mengalami pendarahan yang tak kunjung berhenti, biru-biru atau bengkak-bengkak dan nyeri pada anggota badan, atau susah berjalan.

Kaum Perempuan

Dalam perkembangannya, penyakit kelainan perdarahan tidak hanya mengenai laki-laki saja. Kini, kaum perempuan juga rentan terkena kelainan tersebut. Ironisnya, pemahaman yang berkembang di masyarakat, penderita hemofilia kebanyakan laki-laki dan perempuan sebatas sebagai pembawa (carrier).

"Umumnya, perempuan hanya berposisi sebagai pembawa (carrier). Bila perempuan pembawa kemudian menikah dengan pria hemofilia maka kemungkinan besar bila anak yang dilahirkan perempuan maka ia bakal terkena hemofilia. Tapi memang kasusnya sangat jarang," ujar Djajadiman.

Persoalan yang kemudian muncul, bila hemofilia terkena pada perempuan bakal menjadi masalah serius. Pasalnya, perempuan akan melalui fase menstruasi dan melahirkan, dua fase ini menghadirkan resiko perdarahan begitu tinggi.

Belum lagi, perdarahan yang terjadi selama masa kehamilan dan saat melahirkan merupakan penyebab tertinggi kematian ibu di Indonesia. Celakanya, Sebagian besar dari kasus hemofilia tidak disadari dan tidak terdeteksi lantaran gejalanya yang ringan.

Terkait hal itu, Djajadiman Gatot berpendapat kemungkinan hemofilia terjadi mulai dari masa kandungan. Kelainan genetis tetaplah menjadi kunci utama penyebaran hemofilia. Persoalan perempuan mulai rentan menderita hemofilia dinilainya masih menjadi perdebatan dan memang membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Menurut Djajadiman, walau murni disebabkan genetis, sejumlah kasus hemofilia memang ditemukan penderita hemofilia yang tidak memiliki latar belakang keluarga pembawa hemofilia. "Kemungkinan besar, pasien itu mengalami mutasi saat dalam kandungan. Namun, faktor pendorong terjadinya mutasi memang belumlah diketahui," ujarnya.

Penanganan Mudah

Mahalnya obat dan minimnya penanganan mengharuskan pasien mengenali hemofilia. Pasalnya, persoalan klasik seperti tidak terdeteksi dini atau menganggap remeh gejala awal memang menjadi bumerang. Oleh karenanya, tanpa harus melihat pemeriksaan lanjutan, pasien mungkin bisa menelurusi riwayat hemofilia di keluarganya. Setelah mengetahui, tinggal melengkapinya dengan tes laboratorium.

"Intinya, bila terjadi pendarahan tanpa alasan yang jelas sebaiknya tolong ditanyakan ke dokter, apakah saya hemofilia atau tidak," tegas Moeslichin.

Sementara itu,  Djajadiman beranggapan penanganan hemofilia sebenarnya mudah saja. Pasien cukup menerapkan konsep RICE (Rest, Ice, Compresion, Elevation). Rest artinya beristirahat, Ice, menggunakan es untuk menghilangkan rasa nyeri, Compression, menekan bagian yang mengalami perdarahan. Umumnya, bagian-bagian yang rentan perdarahan antara lain siku, lutut, dan betis.

Hal itu disebabkan, ketiga bagian itu menggunakan sendi engsel, namun sebagian masyarakat justru memberlakukannya seperti sendi putar. Pada individu normal mungkin menyebabkan terkilir, tapi bagi penderita hemofilia bisa berbahaya. Terakhir Elevation yaitu menaikkan bagian sendi yang mengalami pendarahan. Langkah ini dimaksudkan untuk membatasi aliran darah sehingga meminimalkan terjadinya perdarahan. Dan langkah terakhir, lakukan penggobatan definitif. "Lakukan pengobatan definitif usai menjalankan langkah awal pengobatan," paparnya.

Djajadiman juga mengatakan, penderita Hemofilia tidaklah harus berdiam diri tidak melakukan apa-apa. Penderita Hemofilia juga bisa bekerja atau berolahraga dengan catatan harus meminum obat dan tidak melakukan aktivitas yang berat-berat. Khusus olahraga misalnya, ia menganjurkan bagi penderita hemofilia untuk melakukan olahraga seperti berenang, sepeda dan jogging ringan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement