Senin 06 Jul 2015 10:19 WIB

Penyebab Pemalsuan dan Perdagangan Obat Ilegal Marak

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Obat palsu/ilustrasi
Foto: flickr
Obat palsu/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Obat palsu menurut WHO adalah obat-obatan yang secara sengaja penandaannya dipalsukan, baik identitasnya maupun sumbernya. Sedangkan menurut Permenkes 1010 adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar. Pemalsuan obat dapat terjadi pada obat bermerk maupun generik.

 

Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat pertumbuhan peredaran obat ilegal dalam beberapa tahun terakhir cukup tinggi. Berdasarkan data dari BPOM, terdapat peningkatan jumlah temuan obat palsu selama tiga tahun terakhir (sejak tahun 2012 hingga 2014), dimana pada tahun 2012 ditemukan enam item, 2013 ditemukan 13 item dan 2014 ditemukan 14 item.

Pada data tahun 2014, diketahui bahwa jenis obat dari kelas terapi paling banyak dipalsukan, secara berturut-turut berasal dari kelas terapi anti-konvulsi, antitusif (opioid) dan anti-diabetes.

Sementara itu, data sebaran wilayah lokasi tempat ditemukannya obat palsu paling banyak berada di pulau Jawa.

Persentase paling sering ditemukan berturut-turut yakni di provinsi DKI Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogjakarta.

Mengapa pemalsuan dan perdagangan obat ilegal marak di Indonesia? Direktur Eksekutif IPMG, Parulian Simanjuntak mengatakan obat palsu marak karena pembuatan obat palsu jauh lebih murah lantaran kadar dan macam zat aktif berbeda, ongkos produksi dan penjagaan kualitas minimal.

 

Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tufts Center for the Study of Drug Development – Tufts University, Boston, Massachusetts biaya penemuan obat baru (new chemical entity) mencapai 2,6 miliar dolar Amerika. Inilah mengapa oknum membuat obat palsu yang biayanya jauh lebih murah.

Penyebab lain obat palsu marak adalah penegakan hukum yang lemah dan hukuman yang ringan. Ongkos distribusi tinggi dan PPN 10 persen. Kurangnya daya beli masyarakat dan kurangnya pengetahuan masyarakat atas beda antara obat palsu dan orisinil serta dampaknya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement