REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Skizofrenia merupakan penyakit gangguan jiwa yang cukup serius, dimana orang yang mengalaminya menjadi tidak mampu berinteraksi sosial, melumpuhkan produktivitas serta tidak mampu memenuhi peran yang diharapkan.
Menurut dr. A. A. Agung Kusumawardhani, SpKJ (K), penyakit ini merupakan gangguan otak yang kronis yang membuat para penderita merasa kesulitan memproses pemikirannya. Penyakit ini juga bisa terjadi pada siapa saja, baik wanita maupun pria. Namun, pada pria gejalanya cenderung muncul di usia yang lebih muda dibandingkan wanita.
"Pada tahap awal, penyakit ini sulit di deteksi. Pihak keluarga pasien umumnya juga menganggap ODS layaknya orang normal yang sedang punya masalah saja. Rata-rata pasien datang ke dokter dua tahun setelah timbul gejala," jelasnya.
Hal ini dikarenakan, sebelumnya keluarga pasien lebih mendahulukan pengobatannya secara keagamaan atau pengobatan tradisional. Sehingga, begitu di bawa ke dokter gangguannya sudah terlanjur akut dan susah untuk pulih ke kondisi normal.
"Sampai saat ini, penyebab pasti skizofrenia masih belum ditemukan. Namun, faktor genetika, struktur ketidak seimbangan otak, kelainan bawaan pada kehamilan, serta gangguan organik akibat trauma pada kepala hingga penggunaan zat narkotika diketahui dapat menjadi penyebabnya," lanjut Agung menjelaskan.
Walau begitu, Agung menambahkan bahwa ODS masih dapat disembuhkan dan dikendalikan melalui penanganan dan pengobatan yang tepat sedini mungkin. Pengobatan tersebut mengharuskan para pasien untuk meminum obat yang terkenal dengan sebutan antipsikotik.
"Obat ini tidak menimbulkan kecanduan, cara kerjanya hanya mengendalikan gejala dan mengembalikan fungsi daya pikir sang pasien yang menurun," ungkapnya.
Obat tersebut memang merupakan cara yang tepat guna menyembuhkan pasien ODS. Agar pasien dapat kembali hidup normal dengan lebih baik dan bermartabat.
Seperti, Anissa yang mengalami gangguan skizofrenia dikarenakan pada awalnya ia merasa terganggu dengan lingkungannya yang cukup bising. Sehingga ia yang ketika itu sedang menghadapi ujian tengah semester di masa perkuliahan, merasa depresi, sering mengalami gangguan tidur, berhalusinasi dan lainnya.
"Saya bahkan tidak mau minum obat, kalau minum obat saya bisa mengamuk. Akhirnya dokter memberikan alternatif pemberian obat dengan cara di tetes ke dalam makanan atau minuman saya," katanya.
Diakui pula oleh Anissa, ia pun melakukan perlawanan terhadap diri sendiri untuk sembuh dengan cara mulai bersosialisasi dengan orang lain, serta mencari tahu lebih dalam tentang penyakitnya. Pada akhirnya, cara tersebut mampu membuatnya sembuh dan terlepas dari jeratan penyakit gangguan jiwa skizofrenia.