REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Penelitian di Eropa baru-baru ini menemukan perempuan yang menderita anemia pada awal kehamilan dapat melahirkan anak-anak yang memiliki risiko autisme lebih tinggi dan memiliki gangguan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Anemia pada ibu hamil biasanya lebih sering terjadi pada akhir kehamilan.
Penelitian ini dilakukan oleh Karolinska Intitutet Swedia. Ada 299.768 ibu yang diteliti terkait efek waktu diagnosis anemia selama kehamilan terhadap perkembangan saraf janin.
Secara khusus, para peneliti ingin menyelidiki kemungkinan adanya hubungan antara diagnosis anemia sebelumnya dan risiko kecacatan intelektual (ID) yang lebih tinggi, autisme, dan ADHD pada anak-anak.
Temuan itu menunjukkan anak-anak yang lahir dari ibu yang diagnosis anemia pada pekan ke-30 kehamilan atau sebelumnya, memiliki risiko lebih tinggi terkena autisme, ADHD, dan kecacatan intelektual, dibandingkan dengan anak-anak yang lahir dari ibu yang kemudian didiagnosis anemia saat kehamilan dan ibu yang tidak diagnosis sama sekali.
Lebih khusus lagi, dari anak-anak yang lahir dari ibu yang menderita anemia pada pekan ke-30 atau lebih awal, 4,9 persen didiagnosis autisme dibandingkan dengan 3,5 persen anak-anak yang lahir dari ibu yang sehat. Selan itu, 9,3 persen didiagnosis dengan kecacatan intelektual, dibandingkan dengan masing-masing 7,1 persen dan 1,3 persen anak-anak yang lahir dari ibu yang tidak menderita anemia.
Setelah memperhitungkan faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi, seperti usia dan tingkat pendapatan ibu, para peneliti menyimpulkan anak-anak yang lahir dari ibu dengan anemia dini memiliki kemungkinan autisme 44 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak dengan ibu yang tidak anemia.
Risiko ADHD adalah 37 persen, sementara risiko cacat intelektual adalah 120 persen lebih tinggi. Tetapi hubungan yang sama tidak ditemukan antara kondisi kesehatan dan anemia menjelang akhir kehamilan.
Seperti dikutip dari Malay Mail, Sabtu (21/9), peneliti kemudian menyoroti pentingnya pemeriksaan awal untuk menentukan status zat besi wanita dan perlunya menyesuaikan asupan zat besinya. Para peneliti mencatat bahwa sekitar 15 hingga 20 persen wanita hamil diseluruh dunia menderita anemia defisiensi besi, yaitu ketika kemampuan darah untuk membawa oksigen berkurang dan sering kali karena kekurangan zat besi.
Sebagian besar diagnosis anemia dilakukan menjelang akhir kehamilan, karena janin yang tumbuh cepat memerlukan banyak zat besi dari ibu. Dalam studi ini kurang dari satu persen dari semua ibu didiagnosis dengan anemia dini.
Peneliti utama studi, Renee Gardner mengungkapkan diagnosis anemia pada awal kehamilan mungkin mewakili defisiensi nutrisi yang lebih parah dan tahan lama untuk janin.
“Bagian otak dan sistem saraf yang berbeda terbentuk pada waktu yang berbeda selama kehamilan, sehingga paparan anemia yang lebih dini dapat memengaruhi otak secara berbeda dibandingkan dengan paparan yang lebih baru,” kata Gardner.
National Institute of Health di Amerika Serikat merekomendasikan 18 mg zat besi per hari untuk wanita dewasa dan 27 mg per hari selama kehamilan. Zat besi yang berlebihan bisa menjadi racun, maka dari itu wanita hamil harus mendiskusikan asupannya dengan bidan atau dokter mereka.