REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian orang tua terkadang tersulut emosi menghadapi anak dan atau balita yang cukup aktif. Melompat, berlari ke sana ke mari kerap membuat ortu kewalahan sehingga tidak jarang ada seruan larangam terhadap anak.
Padahal, menurut Anna Surti Ariani, Psikolog Anak & Keluarga dari Klinik Terpadu Universitas Indonesia, saat bereksplorasi secara fisik itulah anak merasa senang. Motorik kasar justru merupakan dasar dari aspek kecerdasan lainnya.
"Lompat, lari, manjat jangan dilarang. Kalau motorik kasar sudah terbangun, itu justru dasar kecerdasan yang lain. Justru kalau ditahan bisa berdampak di kemudian hari," ujarnya di Jakarta.
Bahkan, sebenarnya, Anna menjelaskan, sampai dewasa pun, manusia tetap butuh bermain, apalagi saat usia anak dan atau balita. Tapi tentunya cara-caranya berbeda antara masa anak-anak dan dewasa.
Bermain bisa mengoptimalkan beberapa aspek tumbuh kembang anak. Misalnya permainan loncat trampolin, memanjat, tentunya mengoptimalkan aspek fisiknya.
Aspek kognitif juga bisa berkembang melalui cara ia belajar apa saja, melihat bola dunia, mempelajari warna. Jadi kemampian kognitif, bahasa, emosi dan sosial bisa terjadi lewat proses bermain. Anak harus mengalami itu semua.
Sedangkan saat dewasa, mungkin istilah bermain di sini bukan aktivitas main seperti masa anak-anak. Caranya tentu berbeda-beda setiap orang dewasa.
Anna berujar bermain bisa mengoptimalkan proses tumbuh kembang. "Jadi sebetulnya bagian otak kita ada yang memang memproses agar bagian otak lain bekerja dengan optimal, terutama otak konteks. Jadi kalau kita menikmati suatu kegiatan, kita bisa lebih pintar," tambahnya.