REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingkat literasi keuangan perempuan di Indonesia masih rendah. Hal ini membuat perempuan lebih berisiko terkena dampak dari berbagai masalah keuangan. Padahal, perempuan, apalagi setelah menikah, memiliki tanggung jawab sentral dalam pengelolaan keuangan keluarga.
Kepala Departemen Literasi dan Inkluasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sondang Martha Samosir mengatakan, perempuan harus belajar untuk memisahkan antara kebutuhan dan keinginan agar bisa mengelola keuangan dengan bijak. Apalagi, di era digital, berbelanja kian mudah dan praktis.
“Godaan belanja online itu emang bikin galau. Godaan ini tiap hari ada menjelma diskon, cashback dan lainnya. Jadi kalau ibu suka tergiur dengan itu, coba cek lagi barang yang sudah dibeli apakah itu perlu atau tidak?” kata Sondang dalam peluncuran Program Literasi Keuangan Perempuan oleh Visa di Jakarta, Selasa (23/7).
Setelah bisa memisahkan kebutuhan dan keinginan, perempuan juga harus memiliki perencanaan keuangan yang disiplin. Dari total penghasilan, menurut Sondang, sisihkan 10 persen untuk dana darurat, 20 persen menabung, 30 persen untuk investasi atau membayar utang dan 40 persen dari total penghasilan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Itu harus dilakukan secara disiplin. Jangan banyak gengsi. Kalau misalkan memang tidak mampu membeli yang bermerek atau tidak mampu makan di tempat mewah ya jangan memaksakan. Sesuaikan saja dengan kemampuan sehingga keuangan tetap sehat,” jelas dia.
Sondang juga menekankan pentingnya pencatatan keuangan. Menurut dia, dengan melakukan pencatatan keuangan secara rapi maka pemasukan dan pengeluaran akan semakin terkontrol. Terlebih bagi para perempuan karier atau pengusaha, jangan sampai keuangan keluarga dan keuangan usaha tercampur.
"Kalau uang rumah tangga dan usaha disatukan itu pasti akan rumit," kata Sondang.