REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Lama waktu puasa yang dinilai ekstrim memicu ulama di Inggris mengeluarkan fatwa untuk mengurangi periode puasa selama Ramadhan. Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, Maulana Hasanuddin, menilai fatwa tersebut tidak masalah secara fiqh.
“Aturan waktu puasa itu harus melihat kondisi yang ada. Jadi, kalau ada satu daerah yang tidak normal waktu puasanya sampai 18 atau 20 jam, ya tidak harus 20 jam,” kata Maulana Hasanuddin kepada Republika, Jumat (19/6).
Ia menjelaskan, hadis Rasulullah memerintahkan ibadah puasa dilakukan mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Aturan itu dipahami ulama dalam kondisi normal, seperti di Arab Saudi atau Indonesia.
“Kategori normal itu seperti Indonesia atau Saudi, yang sejak terbit sampai terbenamnya matahari sekitar 11-14 jam. Kalau sampai 18-20 jam itu sudah tidak normal,” kata dia.
Menurut Hasanuddin, untuk negara-negara semacam itu ada ukuran-ukuran lain. Sebaiknya menyesuaikan dengan negara terdekat yang normal siang malamnya atau ukuran waktu Makkah-Madinah. ''Hal itu tidak ada masalah secara fiqh,'' jelasnya.
Hasanuddin juga menambahkan, syariat Islam sangat mempertimbangkan kemashlahatan. Islam mempertimbangkan kemampuan rata-rata manusia, serta tidak menghendaki adanya kesulitan dalam melaksanakan syariat.