REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- MUI bekerja sama dengan Muslim World League (Rabithah Alam Islami), Pemprov NTB dan MUI Provinsi NTB, menyelenggarakan Konferensi Internasional Islam Washatiyah di Lombok, pada 29 Juli - 1 Agustus 2016. Konferensi bertema “Meneguhkankan Islam Washatiyah Dalam Rangka Mencegah Radikalisme, Terorisme, dan Sektarianisme di Dunia Islam” ini berlangsung di Hotel Sentosa Mataram, Jalan Raya Senggigi KM 8, Senggigi, NTB
Acara dijadwalkan dibuka Presiden Joko Widodo dan ditutup oleh Wapres Jusuf Kalla. Sejumlah pejabat negara yang diagendakan memberikan ceramah adalah Menag Lukmanul Hakim Saifuddin (Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Memerangi Paham Terorisme), Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian(Perlunya Kerjasama Internasional Dalam Memerangi Teroris), Ketua MPR Dr. Zulkifli Hasan (Peran MPR Dalam Menghadapi Teroris dan Aliran Radikalis), dan Menlu Retno Marsudi (Peran Indonesia untuk Menghadapi Teroris dan pemahaman Radikalis).
Ketua Steering Comitte (SC) Konferensi, KH Muhyidin Junaidi, MA, menjelaskan bahwa Indonesia memiliki posisi strategis dalam pengembangan Islam Wasathiyah (moderat). “Indonesia bukan berteori tentang Islam Wasathiyah, tapi sudah berhasil secara empiris mengamalkannya sejak puluhan tahun lalu. Negara lain baru berteori dan masih coba-coba meracik bumbunya,” kata Kiai Muhyiddin, dalam rilis yang diterima Republika, Senin (25/7).
Beberapa negara sudah mengirimkan delegasinya untuk berbagi dan belajar dari MUI dan Indonesia tentang keberhasilan dalam memadukan antara Islam dan demokrasi di negara paling besar Muslimnya. "Hanya disayangkan, bahwa kualitas kita belum sebanding dengan kuantitas akibat kesalahan dalam memaknai definisi ilmu pengetahuan dan ibadah,” kata Kiai Muhyiddin.
Target utama konferensi ini, menurut Kiai Muhyiddin, adalah mempelopori Islam Wasathiyah sebagai way of life dalam menerjemahkan Islam di kehidupan nyata yang penuh tantangan dan kesempatan. Kiai alumni Libya ini menambahkan, konferensi ini kesempatan emas untuk Indonesia agar terus memainkan peran utama di tingkat global. "Harus jadi main player, bukan penonton saja," ujarnya.
Konferensi ini diagendakan menghasilkan rumusan rekomendasi upaya mencegah radikalisme yang mengarah kepada tindakan terorisme; kesepahaman melalui “Deklarasi Lombok” tentang pentingnya kerjasama dunia Islam; pemetaan langkah-langkah strategis melalui ekonomi syariah untuk memberdayakan umat, sehingga ekonomi umat bangkit; dan rumusan tentang stategi dunia pendidikan dalam melahirkan anak didik yang berkarater guna mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Musyawarah Nasional (Munas), yang merupakan forum tertinggi di MUI, pada bulan Agustus 2015 lalu, menetapkan Islam Wasathiyah sebagai paradigma pengkhidmatan di lingkungan MUI. Paradigma ini menjadi panduan bagi semua pengurus di semua tingkatan dalam merumuskan setiap program dan kebijakan, serta mengagendakan setiap kegiatan dan aktifitasnya.
“Paradigma Islam Wasathiyah ini penting seiring dengan semakin kuatnya indikasi bergesernya gerakan keislaman di negeri ini ke kutub ekstrim, baik yang ke kiri ataupun yang ke kanan. Pergeseran ke kutub kiri memunculkan gerakan liberalisme, pluralisme dan sekularisme dalam beragama. Sedangkan pergeseran ke kutub kanan menumbuhkan radikalisme dan fanatisme sempit dalam beragama,” kata Ketua Umum MUI KH Dr Ma’ruf Amin
Menurut Kiai Ma'ruf pergerakan kedua kutub ini disadari atau tidak, merupakan gambaran pertarungan ideologi global yang menerjang di Indonesia. Dampak pertarungan tersebut telah memporak-porandakan bangunan keislaman yang selama ini telah dibangun oleh para ulama terdahulu di negeri ini.
Kiai Ma’ruf manambahkan Islam wasathiyah sebagai paradigma perkhidmatan di lingkungan MUI diharapkan bisa mengembalikan gerakan keislaman di Indonesia sebagaimana yang dibangun ulama terdahulu. Yaitu keislaman yang mengambil jalan tengah (tawassuth), berkeseimbangan (tawazun), lurus dan tegas (i’tidal), toleran (tasamuh), egaliter (musawah), mengedepankan musyawarah (syura), berjiwa reformasi (islah), mendahulukan yang prioritas (aulawiyah), dinamis dan inovatif (tathawwur wa ibtikar), dan berkeadaban (tahadhdhur).