Rabu 28 Aug 2013 07:40 WIB

Menakar Masa Depan Ikhwanul Muslimin

Pimpinan tertinggi Ikhwanul Muslimin Mohamed Badie
Foto: AP/Amr Nabil
Pimpinan tertinggi Ikhwanul Muslimin Mohamed Badie

REPUBLIKA.CO.ID, Lebih dari 13 juta orang Mesir memilih Ikhwanul Muslimin yang berafiliasi dengan kandidat Presiden Muhammad Mursi pada pemilu tahun 2012. Satu tahun kemudian, meski Mursi terpilih secara demokratis, dia menjadi presiden sipil pertama yang digulingkan.

Dikutip dari Aljazeera,  mayoritas warga Mesir mengatakan dalam sebuah jajak pendapat terbaru bahwa mereka setuju dengan pengusiran dua kamp protes Ikhwanul Muslimin di Rabaa dan Lapangan Nahda. 

Rabu lalu, pasukan keamanan membersihkan Rabaa dan Nahda dari aksi duduk pendukung Ikhwan yang memprotes kudeta militer mendepak Mursi. Pengusiran ini membuat ratusan orang tewas dan ribuan lainnya terluka.

Pejabat senior dari Ikhwan ditangkap dan ratusan pendukung yang tewas dalam protes. Masa depan organisasi yang sudah berusia 80 tahun ini dan  dianggap sebagai kelompok Islam terbesar di dunia, telah menimbulkan spekulasi.

Mohamed al-Qassas, mantan anggota Ikhwanul Muslimin yang meninggalkan Ikhwan setelah revolusi 2011, mengatakan kepada Aljazeera bahwa kebijakan Presiden Mursi membawa bencana.

"Itulah mengapa saya berpartisipasi di protes massal 30 Juni terhadap Mursi," kata demonstran muda ini. Ia percaya buruknya kinerja pemerintahan Mursi yang menyebabkan kudeta militer tak terelakkan. "Tapi tidak ada yang membayangkan tingkat kekerasan seperti ini terhadap Ikhwan," tambahnya.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Pusat Riset untuk Opini Publik  Mesir mengatakan, bahwa 67 persen dari warga Mesir setuju dengan cara kamp protes dibersihkan, 24 persen tidak setuju, sedangkan 9 persen masih ragu-ragu.

Jajak pendapat lain yang dilakukan pada akhir Juli, menunjukkan bahwa 71 persen rakyat Mesir tidak bersimpati dengan demonstrasi untuk mendukung Mursi.

Meski jajak pendapat tersebut menunjukkan rendahnya dukungan rakyat Mesir kepada Mursi,  Qassas percaya, Ikhwanul Muslimin telah berhasil mendapatkan kembali sebagian besar kekuatannya pascapembantaian.

Aljazeera menulis, dalam sejarahnya yang panjang, anggota Ikhwan memperoleh kekuatan struktural internal mereka melalui 'penderitaan'. Saat mereka  menjadi sasaran militer, mereka menjadi semakin kuat dan lebih koheren, kata Qassas.

Pendiri kelompok ini, Hassan al-Banna, dibunuh oleh pihak berwenang di 1949. Pada tahun 1954, Ikhwan dianggap ilegal oleh pemerintah baru Mesir setelah kudeta militer. Pada tahun 1964, banyak tokoh Ikhwan ditangkap oleh pemimpin kudeta Gamal Abdel Nasser dan organisasi nyaris hancur.

Pada 1970-an, kelompok ini diberi kesempatan untuk bertahan hidup pada akhir pemerintahan Presiden Anwar El Sadat. Mereka pun akhirnya menyaksikan tindakan keras serupa menyusul pembunuhan Sadat oleh pejuang Islam. Perjuangan Ikhwanul Muslimin dengan rezim Hosni Mubarak yang digulingkan pada tahun 2011 juga penuh darah.

"Sebelum 30 Juni banyak anggota Ikhwan mulai memikirkan pembelotan. Tapi begitu mereka menghadapi ini operasi keamanan , mereka bersatu lagi. Setelah pembersihan dengan kekerasan terhadap kamp protes, saya tidak bisa menahan tapi untuk bergabung, karena diriku mengutuk kekerasan itu, "kata Qassas.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement