Selasa 13 Oct 2015 13:00 WIB

Tosan Khawatirkan Keselamatannya

Red:
Warga yang tergabung dalam Solidaritas Aktivis Anti Kekerasan menggelar teatrikal penganiayaan dan pembunuhan aktivis lingkungan Salim 'Kancil' dan Tosan di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (2/10).   (Antara/Zabur Karuru)
Warga yang tergabung dalam Solidaritas Aktivis Anti Kekerasan menggelar teatrikal penganiayaan dan pembunuhan aktivis lingkungan Salim 'Kancil' dan Tosan di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (2/10). (Antara/Zabur Karuru)

MALANG – Tosan, korban penganiayaan kasus tambang pasir ilegal di Desa Selok Awar-Awar, Lumajang,  menunggu proses pemulangan dari rumah sakit. Kini, Tosan telah dipindahkan dari ruang ICU ke bangsal 13 di Rumah Sakit dr Syaiful Anwar (RSSA), Kota Malang, Jawa Timur.

Tosan sudah merasa sehat dan dokter pun menyatakan laki-laki berumur 51 tahun itu bisa pulang. Saat ini, rumah sakit masih berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta kepolisian untuk proses kepulangannya.

Dia juga mengutarakan keinginannya segera pulang ke rumah karena kangen anak dan keluarganya. "Ingin pulang ke rumah, kangen anak, keluarga, tapi saya juga ingin pulang ke rumah aman di perjalanan, di rumah," kata Tosan.

Di sisi lain, Tosan merasa bangga dengan semua orang yang membantu pemulihannya. "Saya juga minta maaf, baru sampai segini kemampuan saya membela negara.'' Ia berharap, penambangan ilegal di Lumajang dihentikan karena merugikan negara.

Ketua tim dokter yang menangani Tosan, dr Muhammad Naim, menuturkan Tosan sudah bisa pulang ke rumah. "Karena masalah keamanan, kami masih harus berkoordinasi dengan LPSK dan kepolisian,'' katanya, kemarin.

Setelah dianiaya, lambung Tosan bocor karena benda tajam sebesar 10 cm. Saat dilarikan ke rumah sakit Tosan dalam keadaan tidak sadar. Tosan dianiaya oleh 30 orang di rumahnya. Tubuhnya saat itu tertelungkup dan bersimbah darah.

Kemarin, Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Timur di Surabaya menyidang tiga polisi yang diduga menerima setoran dari bisnis tambang pasir tak berizin di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang.

Mereka adalah Kasubag Dalops Polres Lumajang AKP Suradminto, Kanit Reskrim Polres Lumajang Samsul Hadi, dan Babinkantibmas Desa Selok Awar-Awar Sigit Pramono. AKP Suradminto diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan kapolsek Pasirian.

Dalam sidang kemarin, tiga saksi yang juga berstatus sebagai tersangka penambangan pasir ilegal dan pembunuhan petani penolak tambang pasir, Salim Kancil, dihadirkan. Ketiganya adalah Kepala Desa Selok Awar-Awar Hariyono.

Dua lainnya, Kepala Urusan Pembangunan Desa Selok Awar-Awar sekaligus bendahara bisnis tambang Eko Aji, dan pengelola alat berat dan penarik iuran portal tambang, Harmoko. Menurut Hariyono, setiap bulan ia menganggarkan dana bagi ketiga polisi tersebut.

"Untuk Kapolsek, saya titipkan lewat Babinkantibmas. Kalau untuk Kanit, langsung saya kasih, kalau beliau patroli malam dan mampir ke rumah," kata Hariyono. Ia memberi uang karena menganggap polisi merupakan mitra pemerintah desa.

Selain untuk petugas polisi, menurut Kades, jatah bulanan juga diberikan kepada Komandan Rayon Militer (Danramil) Kecamatan Pasirian dan Babinsa Desa Selok Awar-Awar. Camat dan sekretaris camat Pasirian pun mendapatkan bagian.

Selain itu, Hariyono juga mengalokasikan dana untuk perangkat desa Selok Awar-Awar, wartawan, LSM, hingga anggota DPRD Lumajang. Menurut pengakuannya, sejumlah pegawai Perhutani kebagian jatah paling besar.

Pegawai yang rutin mendapatkan setoran adalah asisten Perhutani Kecamatan Pasirian, mantri Perhutani, serta dua orang mandor Perhutani. Berdasarkan penelusuran Republika, asisten Perhutani yang turut memuluskan tambang ilegal itu bernama Hendra.

Pendamping Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Selok Awar-Awar bernama Hanafi juga kecipratan, bahkan lebih besar. "Pak Hanafi, dapat lebih besar karena terlibat langsung di lapangan," ujar Hariyono. Para pegawai Perhutani, sejak awal terlibat pembukaan tambang pasir. Keterlibatan mereka melalui rapat-rapat yang diselenggarakan di balai desa. Berdasarkan keterangan sang Kades, niat membuat tambang pasir disamarkan melalui dalih pengembangan kawasan Pantai Watu Pecak sebagai kawasan wisata.

Dengan alasan tersebut, melalui tim LMDH yang diketuai Mat Desir, mereka meminta paksa sawah warga yang disebut berada di tanah Perhutani. LMDH sendiri merupakan lembaga mitra Perhutani dalam pemanfaatan aset perhutani.

Eko Aji menuturkan, setiap bulan ada wartawan dan pengurus LSM meminta jatah. Ia mengaku tak mengingat nama media ataupun LSM tempat mereka bekerja. "Saya lupa, ada di buku tamu. Ada yang namanya Beni, Anshori, Karminto, Woko, dan Karyaman," ujar Eko.

Harmoko, pengelola alat berat dan penerima uang pembayaran pembelian pasir, memerinci pendapatan yang diterima dari penambangan pasir. Rata-rata sehari pendapatannya mencapai Rp 27 juta, yang berasal dari penjualan pasir hingga 100 truk.

Menurut dia, harga terakhir satu truk pasir jenis dump truck dan colt diesel adalah Rp 270 ribu. Dalam sehari, rata-rata 100 truk yang datang membeli pasir. Ia menjelaskan, uang sebesar Rp 270 ribu yang diterima dari satu transaksi pembelian pasir kemudian dibagi ke tiga pos.

Pos pertama, untuk kepala desa Rp 142 ribu. Pos kedua, untuk sewa tiga ekskavator, Rp 110 ribu. Dan pos ketiga, untuk upah pekerja, Rp 18 ribu. Pemasukan lainnya dari biaya keluar-masuk truk ke lokasi penambangan atau disebut sebagai uang portal, yang besarnya Rp 30 ribu per truk. n ed: ferry

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement