REPUBLIKA.CO.ID, Ada rutinitas Jusuf Kalla (JK) yang sukar digugat pada pagi hari. Ia biasa memulai hari dengan membaca sekira 10 eksemplar koran. "Saya membaca semua laporan, update semua data, apa masalah pemerintahan ini, dan bagaimana menghadapi nya," kata JK.
Ketika disambangi Republika di kediamannya di Darmawangsa, Jakarta Selatan, Jumat (25/7), ia sedang di pengujung rutinitas tersebut.
Ada semacam gairah baru pada JK, selepas pengumuman pemenang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014. Ia bicaranya penuh semangat. Berikut petikan wawancaranya dengan Republika.
Sebagian pihak menilai relawan lebih berperan di bandingkan mesin parpol pada Pilpres 2014. Bagaimana menurut Anda?
Mesin parpol tetap jalan meski tak seberapa optimal di beberapa tempat. Kenapa justru saat pileg bisa berjalan? Karena semua orang terlibat.
Sekarang dalam pilpres, banyak caleg yang enggan terlibat lagi, mereka yang kalah sudah lelah untuk bekerja, yang menang juga mungkin lelah sehingga partisipasinya sulit.
Sedangkan relawan itu terlibat langsung, mereka dengan hati. Mereka bergerak sendiri-sendiri. Makanya, kalau lihat spanduk Jokowi-JK di setiap daerah selalu berbeda karena memang yang buat tidak tersentral. Mereka masing-masing dengan gambar dan tagline yang berbeda-beda.
Seberapa besar peran media sosial?
Iya, memang ada peran media sosial. Saya sebagai orang yang tiga kali mengikuti kontestasi pilpres melihat ada perubahan pola kampanye dalam setiap proses pemilihan.Pada 2004 itu, lebih banyak rapat umum dan dialogis serta dorongan iklan.
Namun, 2009 rapat umum mulai berkurang, iklan pun sedikit, hanya dialogis, dan media sosial mulai membuka perannya. Sekarang pada 2014, rapat umum hampir tidak ada, iklan menurun, bahkan dinilai tak efektif. Lihat saja TV yang intensif menayangkan Aburizal (Ical) Bakrie, Surya Paloh, dan Wiranto, mereka harusnya terpilih.
Selain pemberitaan media, media sosial membawa pengaruh yang besar. Apalagi mampu menarik segmen anak-anak muda yang menjadi pemilih pemula dalam pilpres ini.