REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menduga pemerintah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) tidak mengumumkan ribuan pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh lantaran dilatarbelakangi dua faktor. Faktor pertama yaitu pemerintah berusaha menutup-nutupi angka PHK karena takut dianggap gagal dalam menjalankan paket kebijakan ekonominya.
"Nanti kalau sudah ramai di media tentang PHK barulah pemerintah akan mengumumkan angka PHK sedikit-sedikit. APINDO atau KADIN akan mengamini perlahan yang kemudian ujung-ujungnya minta insentif lagi," ujar Presiden KSPI Said Iqbal dalam pesan singkat yang diterima Republika.co.id, Ahad (31/1).
Faktor kedua adalah ketidakmampuan pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Menurut dia, salah satu penyebabnya adalah kebijakan upah murah pemerintah melalui PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Faktanya, kata Iqbal, semua harga barang, ongkos transportasi, dan sewa rumah tetap mahal meski harga BBM sudah diturunkan. Bahkan di tengah harga minyak dunia rendah sekalipun, semua kebutuhan tetap mahal. "Hal ini diperparah dengan sikap pengusaha yang menyatakan tidak ada efek apapun di sektor riil dari paket kebijakan ekonomi tersebut," kata dia.
Ribuan buruh di sektor industri padat modal mulai mengalami PHK. Puluhan ribu buruh lainnya disinyalir berpotensi di-PHK. Tak hanya itu, ribuan buruh di sektor padat karya pun sudah ter-PHK. Iqbal mengatakan perusahaan raksasa dan menengah yang sudah pasti melakukan PHK ribuan buruh pada Januari hingga Maret 2016 adalah PT Panasonic (ada dua pabrik di Cikarang dan Pasuruan), PT Toshiba, PT Shamoin, PT Starlink, PT Jaba Garmindo (tekstil), PT Ford Indonesia. Selain puluhan perusahaan yang bergerak dalam industri motor dan mobil pun juga ikut mem-PHK karyawannya seperti PT Yamaha, PT Astra Honda Motor, dan PT Hino.