REPUBLIKA.CO.ID, Orang tua kerap tak menyadari telah pilih kasih. “Mereka membandingkan anak-anaknya tanpa maksud membedakan,” ujar psikolog keluarga Anna Surti Ariani.
Potensi pilih kasih selalu ada pada orang tua yang memiliki lebih dari satu anak. Orang tua cenderung lebih mengasihi anak yang lebih sejalan dengan karakter mereka. “Biasanya, anak yang sesuai dengan harapan ayah dan bundalah yang lebih disayang,” ujar Nina.
Perbedaan perlakuan berpotensi besar memicu timbulnya kecemburuan antaranak. Dia bisa marah dan kesal berlebihan terhadap si kesayang an. Anak yang merasa tidak disayang bakal menarik diri. Dia akan merasa perbuatannya selalu jelek, salah, tak spesial, dan tidak mempunyai kemam puan untuk memuaskan orang tua. Didera perasaan seperti itu, dia akan menjadi kurang percaya diri.
Sebaliknya, ketimpangan perhatian orang tua juga dapat memecut semangat juangnya. Anak akan terpacu untuk lebih berhasil demi mendapatkan perhatian orang tua. Tentunya, itu tidak baik. “Orang tua semestinya berharap anak mencapai prestasi yang baik memang untuk kebaikan dan kebahagiaan anak,” kata psikolog yang akrab disapa Nina ini.
Agar adil, orang tua harus memberikan kasih sayang mesti sama besar. Bentuk pengungkapannya dapat saja berbeda. Usia dan kemampuan anak menjadi pembedanya. Ketika Lebaran tiba dan asisten rumah tangga sudah mudik, kakak yang berusia 10 tahun boleh mendapatkan pekerjaan yang lebih berat dibandingkan adiknya yang masih berusia enam tahun.
Tentu saja, perbedaan ini bukan karena ibu lebih sayang adik. Anak usia 10 tahun sudah mampu mengepel lantai atau menyetrika pakaian. “Adik mungkin hanya kebagian menyapu lantai dan itu pun masih dibantu ibu karena memang dia belum mahir,” kata Nina memberi ilustrasi kasus.
Andaikan atmosfer pilih kasih kental terasa di keluarga, pandanglah tiap anak sebagai individu. Pikirkan kelebihan dan kelemahan mereka, lalu fokuslah pada kebaikan anak. Selanjutnya, luangkan waktu yang seimbang untuk mereka. Lakukan bersama aktivitas yang menyenangkan bagi tiap anak.
Hindari memaksakan anak menjalani kegiatan yang tak membuatnya tersenyum lepas. Lalu, saat mengomentari, menghukum, atau memuji, ulas perilakunya, bukan anaknya. “Tak mudah memang, Anda perlu berlatih untuk menjalaninya,” komentar Naomi Richards yang aktif menggelar workshop untuk meningkatkan kepercayaan diri anak di London, Inggris.
Masih tetap merasa lebih sayang dengan salah satu anak? Simpan saja rasa itu. Sampai kapan pun, anak tak boleh mengetahuinya. Sebuah penelitian berjudul “Mothers’ Differentiation and Depressive Symptoms Among Adult Children” bisa menjadi bahan perenungan. Laman metroparent. com mengabarkan penelitian yang pernah dipublikasikan di Journal of Marriage and Familyini mengungkap, anak yang merasa sang bunda tak adil dalam membagi kasih sayangnya kelak akan rentan terkena depresi di usia paruh baya.
Ingin gaya seru Anda tampil di Republika Online?
Jangan ragu. Ayo,ungkapkan perasaan Anda mengapa memilih busana seru dan modis itu. Kirimkan cerita seru dan foto terbaik Anda ke email : [email protected]