REPUBLIKA.CO.ID, Keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Setiap pasangan suami istri tentu mendambakan hal itu. Hanya saja, banyak pasangan pesimistis, apakah mampu mewujudkan keluarga ideal seperti itu? Dalam pandangan konsultan keluarga H Ade Purnama Hadi SAg, mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah bukanlah sesuatu yang instan. Ia tidak terjadi begitu saja, namun melalui sebuah proses. Dan untuk menjalani proses ini perlu bekal, baik dari suami maupun istri.
Setidaknya, ada tiga bekal (persiapan) yang dapat dijadikan landasan untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Pertama, persiapan secara spiritual (ruhiyah). Kedua, ilmu untuk mencapai keluarga sakinah yang bisa diperoleh dari buku-buku bacaan atau konsultasi. Ketiga, persiapan fisik (jasad). Bagi Muslimah, persiapan ini mulai dari yang terlihat sampai yang tidak tampak. ''Tiga persiapan ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang akan melangsungkan pernikahan, tapi juga bagi keluarga yang sudah menikah,'' ujar Ade.
Seperti apa sebenarnya keluarga sakinah itu? Keluarga yang berkecukupan secara materi dan selalu rukun, apakah itu yang disebut sakinah? ''Keluarga sakinah, bukan berarti di keluarga itu selalu adem-ayem, tidak pernah ada masalah,'' kata Ade. Setiap keluarga pasti punya masalah. ''Dan itu wajar, seperti cemburu, perbedaan karakter, watak atau yang berkaitan dengan ekonomi.''
Hanya saja, dalam sebuah keluarga yang sakinah, setiap masalah dapat diatasi dan diselesaikan sesuai dengan tuntunan Alquran dan Hadits Nabi. Alhasil, masalah itu tidak sampai meruncing atau melebar ke mana-mana. Mengutip pesan Rasulullah, pernikahan merupakan penyatuan dua insan -- pria dan wanita -- yang memiliki watak atau karakter berbeda. Watak atau karakter tentulah ada yang baik, ada pula yang buruk.
Nah, jika yang selalu dilihat oleh pasangan kita hanya keburukan-keburukan saja, pasti akan muncul masalah. ''Oleh karena itu, Rasul mengingatkan agar setiap pasangan selalu melihat kelebihan dari pasangannya agar masing-masing memperoleh manfaat,'' saran pria yang dikenal juga sebagai ustadz ini. Direktur Pengembangan dan Riset pada Institute for Islamic Studies and Development (IISD) ini mengingatkan pula bahwa suami istri memiliki hak dan kewajiban yang harus saling dihargai. Jika istri atau suami lalai menjalankan kewajiban dan sulit diatur, sedangkan pasangannya pun tidak mampu menasihati, mintalah bantuan kepada pihak ketiga seperti konsultan keluarga, atau guru mengaji suami/istri.
Suami atau istri suka marah-marah? Hal ini pun harus segera diatasi. ''Kalau suasana sudah aman, sampaikan bahwa keluarga kita ini mempunyai visi dan misi. Bagaimana mau membentuk keluarga sakinah kalau marah-marah terus seperti itu.'' Di masa Khalifah Umar bin Khatab, ada seorang suami hendak mengadu kepada Umar karena istrinya mengomel terus. Ketika tiba di rumah Umar, pria itu mengetahui bahwa istri Umar juga sedang mengomel, sehingga dia tidak jadi menyampaikan masalahnya kepada Khalifah. Tapi kemudian, Umar memanggil pria tersebut dan mengatakan bahwa istri mengomel itu biasanya hanya sesaat. Penyebabnya, dia jenuh dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari.
Berdasar riwayat ini, Ade mengingatkan para suami agar tidak segan mengajak sang istri refreshing menghilangkan kejenuhan. Tak perlu ke tempat yang jauh atau mahal, yang penting istri senang dan rileks. Kalau istri aktif di kelompok pengajian misalnya, alangkah indahnya jika suami mengantar istri ke tempat pengajian. Tak harus setiap hari. ''Minimal seminggu sekali, istri tentu akan senang.''