Rabu 15 Jan 2020 12:02 WIB

Maimunah binti al-Harits, Ummul Mukminin Terakhir

Maimunah binti al-Harits menjadi wanita terakhir yang dinikahi Nabi Muhammad.

Maimunah binti al-Harits, Ummul Mukminin Terakhir. Foto: Suasana Makkah di masa puncak musim haji tempo dulu (Ilustrasi).
Foto: saudigazette.com
Maimunah binti al-Harits, Ummul Mukminin Terakhir. Foto: Suasana Makkah di masa puncak musim haji tempo dulu (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Berita kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Khaibar membuatnya Maimunah binti Harits  sangat bahagia. Pada saat yang sama, suaminya,  Mas'ud bin Amr ats-Tsaqafi  justru kecewa mendengar pasukan Muslim meraih kemenangan. Cahaya iman telah menyinari  hati Maimunah, sedangkan sang suami masih tetap membenci dan memusuhi Nabi Muhammad SAW.

Perbedaan keimanan dan keyakinan itu akhirnya membuat pasangan itu akhirnya bercerai.  Maimunah binti al-Harits bin Huzn bin al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah al-Hilaliyah, lebih memilih keyakinannya kepada agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW.  Namun, ia masih menyembunyikan keimanannya itu, hingga tiba saat yang tepat.

Baca Juga

Maimunah adalah saudari dari Ummu Fadhl istri Abbas dan bibi dari Khalid bin Walid dan juga bibi dari Ibnu Abbas. Ia termasuk termasuk pemuka kaum wanita yang masyhur. Ia berasal dari keturunan bangsawan. Maimunah lebih memilih tinggal di rumah Ibnu Abbas dengan keyakinan akan kebenaran Islam yang masih disembunyikannya.

Waktu pun terus berlalu. Waktu yang ditunggu Maimunah akhirnya tiba juga. Ia sangat menantikan terwujudnya perjanjian Hudaibiyyah. Menurut perjanjian itu,  Nabi SAW diperbolehkan memasuki kota Makkah dan tinggal di dalamnya selama tiga hari untuk menunaikan haj. Orang-orang kafir Quraisy tak boleh mengganggunya. Kaum Muslimin pun memasuki kota Makkah dengan rasa aman.

Kaum Muslimin yang menunaikan ibadah haji mengcapkan kalimat talbiyah dengan khidmat. "Labbaika Allahumma labbaika, labbaika laa syarika laka labbaika>" (Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu , tiada sekutu bagimu).

Kalimat itu menggema di seluruh penjuru kota Makkah. Menurut Mahmud Mahdi al-Istambuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi dalam bukunya Wanita Teladan, sampai-sampai  bumi tempat kaum musyrik berpijak seolah bergetar. ''Mereka lari menjauh ke bukit-bukit dan gunung-gunung. Mereka tak sanggup melihat Nabi Muhammad SAW  dan sahabatnya  kembali ke Makkah secara terang-terangan dengan kekuatan dan keperkasaan,'' tutur al-Istambuli dan asy-Syalabi.

Saat itu, di Makkah masih ada beberapa laki-laki dan wanita yang masih menyembunyikan keimanannya. Maimunah adalah salah seorang yang menunggu peristiwa itu terjadi di Makkah. Ia dengan penuh khidmat mendengar kalimat talbiyah membahana di seantero kota  suci pertama bagi umat Islam itu.

Kedahsyatan peristiwa haji itu telah membuatnya berani untuk membuka keislamannya. Dengan penuh keberanian, ia pun masuk Islam secara sempurna dan penuh izzah (kewibawaan). yang tulus agar terdengar oleh semua orang tentang keinginannya untuk masuk Islam. Maimunah mengumumkan keinginannya untuk bergabung dengan  Nabi SAW dan para sahabat. Ia juga mengungkapkan keinginannya untuk turut bergabung dalam rumah tangga Nabi SAW, dengan tujuan agar jiwanya yang selalu haus akan akidah yang lurus bisa mendapat siraman langsung dari sumbernya.

Maimunah pun segera menuju saudara kandungnya, Ummu Fadhl dengan perasaan yang tergesa-gesa untuk menjadi salah satu dari Ummahatul Mukminin. Saudarinya kemudian membicarakan dengan suaminya al-’Abbas dan diserahkanlah urusan tersebut kepadanya. Abbas sendiri  pun segera menemui Nabi saw dan menawarkan Maimunah kepada beliau. Akhirnya, Nabi SAW menerimanya dengan mahar 400 dirham.

Dalam riwayat yang lain disebutkan, Maimunah sendiri yang datang menyerahkan dirinya kepada Nabi SAW. Sehingga, turunlah ayat dari Allah, "..dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi menikahinya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.."(Al-Ahzab: 50).

Ketika sudah berlalu tiga hari sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian Hudaibiyah, orang-orang Quraisy mengutus seseorang kepada Nabi SAW. Mereka mengatakan, Telah habis waktumu, maka keluarlah dari kami. Maka Nabi SAW menjawab dengan ramah, Bagaimana menurut kalian jika kalian biarkan kami, sehingga aku merayakan pernikahanku di tengah-tengah kalian dan kami suguhkan makanan untuk kalian?

Mereka menjawab dengan kasar, Kami tidak butuh makananmu, maka keluarlah dari negeri kami! Sungguh ada rasa keheranan yang disembunyikan pada diri kaum musyrikin selama tinggalnya Nabi SAW di Makkah, karena kedatangan  Rasulullah SAW telah meninggalkan kesan yang mendalam pada banyak jiwa. Sebagai bukti dialah Maimunah binti al-Harits.

Dia tidak hanya cukup menyatakan keislamannya, tetapi lebih dari itu beliau daftarkan dirinya menjadi istri Rasulullah SAW sehingga membangkitkan kemarahan mereka. Untuk berjaga-jaga, Rasulullah SAW tidak mengadakan Walimatul ‘Ursy dirinya dengan Maimunah di Mekah. Beliau mengizinkan kaum muslimin berjalan menuju Madinah. Tatkala sampai di suatu tempat yang disebut Sarfan yang berjarak 10 mil dari Makkah, Nabi memulai malam pertamanya bersama Maimunah RA. Hal itu terjadi pada bulan Syawal tahun ke-7 Hijriyah.

Selanjutnya, sampailah Rasulullah SAW bersama Maimunah di Madinah, lalu Maimunah menetap di rumah Nabi SAW yang suci. Setelah Rasulullah SAW wafat, tinggallah Maimunah sendirian hingga 50 tahun. Semuanya beliau jalani dengan baik dan takwa serta setia kepada suaminya. Hingga karena kesetiaannya kepada suaminya, beliau berpesan agar dimakamkan di tempat dilaksanakannya Walimatul ‘Ursy dengan Rasulullah. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement