REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Tidak ditemukan informasi yang jelas mengenai tahun kelahiran salah seorang sahabat mulia ini. Silsilah lengkap beliau adalah Hudzaifah bin Husail bin Jabir bin Amr bin Rabi’ah bin Jarwah. Ayah beliau yang bernama Husail yang belakangan dikenal dengan al-Yaman merupakan penduduk asli Makkah dari Bani ‘Abbas.
Nisbat Al Yaman merupakan sebutan (laqab) untuk ayah beliau, Husail. Namun satu sumber mengatakan bahwa Al Yaman merupakan sebutan untuk kakeknya, Jabir. Asal mula penyematan sebutan Al Yaman pada ayah beliau sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Atsir dalam kitab Usdul Ghabah adalah karena adanya hutang darah pada kaumnya, hal ini memaksanya untuk pergi meninggalkan tanah kelahirannya, Makkah menuju ke Yatsrib (Madinah).
Di sana, beliau meminta perlindungan kepada keluarga Bani Abdul Asyhal yang merupakan golongan sahabat Anshar dan juga bersumpah setia kepada mereka dalam kesukuan dan kekeluargaan. Sejak peristiwa itulah Husail, ayah dari Hudzaifah dipanggil dengan sebutan Al-Yaman, hal ini karena ia bersumpah setia kepada Bani Abdil Asyhal yang merupakan kaum Anshar dan secara genealogis berasal dari Yaman.
Setelah menginjak usia dewasa, Husail mempersunting perempuan asli suku Asyhal. Dari perkawinan ini lahirlah Hudzaifah bin Husail yang belakangan lebih terkenal dengan Hudzaifah bin Al Yaman.
Dengan kelahiran sang putra ini, hilanglah hambatannya untuk memasuki kota Makkah, sehingga sejak saat itu ia bebas pulang pergi antara Yatsrib (Madinah) dan Makkah, walaupun waktunya lebih banyak dihabiskan di Yatsrib.
Husail merupakan salah satu dari sepuluh orang keturunan Bani Abbas yang menemui Rasulullah SAW. untuk menyatakan keimanan meraka di hadapan Rasul SAW. Peristiwa ini terjadi sebelum Rasulullah Hijrah ke Madinah tahun 622 M. Sesuai dengan tradisi garis keturunan yang berlaku di Arab, yaitu keturunan ayah, maka Hudzaifah adalah orang Makkah yang lahir dan dibesarkan di Madinah (Abdurrahman bin Abdul Karim, Kitab Sejarah Terlengkap Para Sahabat Nabi).
Hudzaifah lahir dari keluarga muslim pada masa Islam awal, dan beliau telah memeluk Islam sebelum bertemu secara langsung dengan Rasulullah SAW. Sayang sekali penulis belum bisa melacak data yang akurat terkait tahun kelahiran beliau.
Namun jika melihat kronologis data di atas, beliau lahir sebelum Nabi Hijrah ke Madinah, karena ayah beliau, Husail menyatakan keimanan kepada Rasulullah SAW. sebelum peristiwa Hijrah. Sedangkan data yang bisa lacak adalah tahun wafat beliau, yaitu antara 34 dan 35 H atau 656 M., tepat 40 hari pasca tragedi terbunuhnya sahabat Utsman bin Affan, sebagaimana dicatat oleh Ibnul Atsir dalam Usdul Ghabah.
Perjalanan Spiritual
Sebagaimana sahabat-sahabat yang lain, Hudzaifah bin Al Yaman banyak meriwayatkan Hadis dari Rasulullah SAW. Karena kedekatan secara personal dan spiritual dengan Rasulullah SAW lah yang membuatnya banyak memperoleh riwayat Hadis dari Rasulullah SAW yang kemudian diriwayatkan oleh para sahabat Rasul yang lain.
Beberapa nama yang tercatat meriwayatkan hadis dari Hudzaifah bin Al Yaman adalah Abu Ubaidah yang merupakan putra beliau sendiri, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Qhais bin Abi Hazim, Abu Wail, Zaid bin Wahab dan masih banyak lagi. Khalid Muhammad Khalid dalam buku Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah mencatat informasi bahwa dalam Imam Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan 8 Hadis dari Hudzaifah, dan Imam Muslim meriwayatkan sebanyak 12 hadis.
Sejarah juga mendokumentasikan bahwa Hudzaifah ikut andil dalam perang Uhud, dan dalam perang inilah ayah beliau, Husail mati syahid secara tidak sengaja oleh pasukan Muslim. Hal ini karena beliau dalam peperangan ini memakai penutup kepala, sehingga para sahabat mengira ia adalah kelompok musyrikin.
Peristiwa syahidnya ayah beliau ini disaksikan sendiri oleh Hudzaifah bin Al Yaman dari kejauhan, beliau melihat pedang sedang terhujam kepada ayahnya, dan beliau berteriak, “ayahku…! Ayahku…! Jangan, dia ayahku.!” Namun, Qadha’ Allah telah terjadi, dan tatkala para sahabat menyadari apa yang terjadi, mereka hanya bisa diam membisu penuh duka.
Dengan sikap kasih sayang dan pemaafan, Hudzaifah memandangi para sahabat, karena ia tahu bahwa kejadian itu merupakan kekhilafan. Hudzaifah kemudian berucap, “semoga Allah mengampuni kalian, sungguh ayahku ini adalah sebaik-baik penyayang.”
Kemudian, dengan pedang terhunus, Hudzaifah bin Al Yaman maju menuju medan perang yang sedang berkecamuk untuk menumpas kaum musyrikin. Berita ketabahan dan ke-heroik-an Hudzaifah ini akhirnya sampai ke telinga Rasulullah SAW.
Pada saat itu Rasul memerintahkan para sahabat yang tanpa sengaja membunuh ayah Hudzaifah untuk membayar diyat atas kekhilafan mereka. Namun Hudzaifah menolak untuk menerima diyat tersebut, dan beliau justru meminta diyat tersebut untuk dibagikan kepada kaum muslimin.
Setelah peristiwa itu, Rasulullah SAW semakin kagum dan sayang kepada Hudzaifah bin Al Yaman. Sebelum perang Uhud terjadi, Hudzaifah bersama ayahnya juga hendak bergabung dengan barisan kaum muslimin dalam perang Badar, namun dalam perjalanan mereka ditahan oleh musuh dan tidak bisa ikut perang.
Imam Adz Dzahabi menyebut Hudzaifah bin Al Yaman dalam kitabnya Siyar A’lam An Nubala dengan sebutan “Shahibus Sirri” (pemilik rahasia). Sebutan ini tidaklah berlebihan, karena Hudzaifah adalah salah satu sahabat yang dipercaya oleh Rasulullah SAW untuk menyimpan beberapa informasi penting dan rahasia, dan para sahabat pun mengakui akan hal ini. Adz Dzahabi menulis, bahwa Rasulullah SAW. Memberikan informasi rahasia kepada Hudzaifah tentang data orang-orang Munafik di sekitar Rasul, juga beberapa konspirasi yang mereka rencanakan atas kaum muslimin.
Hadratusy Syaikh Achmad Asrori Al Ishaqi tatkala mendiskusikan bab “al ilmu dhahirun wa bathinun” (Dimensi eksoteris dan esoteris dalamIlmu) dalam Kitab Al Muntakhobat juga mengutip hadis yang di-takhrij oleh Abu Dawud riwayat dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia berkata : “Rasulullah SAW. pernah berdiri di hadapan kami (khutbah), tidak ada sesuatu pun yang bakal terjadi hingga dating hari kiamat kecuali beliau jelaskan saat (beliau berdiri)itu. Maka hafallah orang yang hafal dan lupalah orang yang lupa, dan para sahabat telah mengetahui hal itu. Sungguh, aku dapat mengingat apa yang disampaikan saat itu, sebagaimana seorang laki-laki yang mengingat wajah orang yang pergi kemudian bertemu lagi.”
Dua riwayat di atas menggambarkan dengan begitu gamblang bagaimana kedudukan dan kecerdasan Hudzaifah bin Al Yaman. Bahwa beliau banyak mengetahui dimensi-dimensi esoteris dalam Islam sejak awal.
Mengenai kelebihan yang dimiliki oleh Hudzaifah ini, beberapa sahabat senior pun memberikan pengakuan dan apresiasi. Sahabat Umar misalnya, tatkala ia tau bahwa Hudzaifah mempunyai informasi mengenai data orang-orang munafik di sekitar Rasulullah SAW maka Umar memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada Hudzaifah, “ Apakah namaku masuk dalam data orang-orang munafik yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. kepadamu, wahai Hudzaifah.?” ” Tidak,” jawab Hudzaifah. “ketahuilah, wahai Umar, aku tidak akan memberitaukan informasi ini kepada siapapun setelah engkau.” tambahnya.
Dalam kesempatan yang lain, sahabat Ali bin Abu Thalib pernah ditanya mengenai Hudzaifah bin Al Yaman, beliau menjawab, “ Ia (Hudzaifah) mengetahui data tentang orang-orang Munafik di sekitar Rasul, dan andai kalian bertanya kepada tentang konspirasi-konspirasi yang mereka rencanakan, niscaya ia (juga) mengetahuinya.”
Hudzaifah bin Al Yaman juga tercatat pernah diutus oleh Rasulullah SAW untuk menjadi mata-mata guna mencari informasi dari musuh pada saat terjadi perang Khandaq yang juga dikenal sebagai Pertempuran Al-Ahzab. Perang ini terjadi pada bulan Sya’ban (ada yang berpendapat bulan Syawal) tahun 5 H. atau pada tahun 627 M.
Perang yang berupa pengepungan kota Madinah ini dipelopori oleh pasukan gabungan antara kaum kafir Quraisy Mekah dan Yahudi Bani Nadir. Pengepungan ini dimulai pada 31 Maret 627 M. dan berakhir setelah 27 hari.
Pertempuran ini dinamai Pertempuran Khandaq karena parit yang digali oleh umat Islam dalam persiapan untuk pertempuran. Salah satu tokoh penting dalam perang ini adalah sahabat dari Persia bernama Salman Al Farisi, yang mengusulkan untuk membangun parit yang kemudian dari sinilah peperangan ini dikenal dengan perang Khandaq/parit.
Penunjukan Hudzaifah untuk menjadi mata-mata bukan keputusan yang tiba-tiba dan langsung atau spontan, karena sebelum menunjuk Hudzaifah Rasulullah menawarkan kepada para sahabat, siapa yang bersedia menyusup ke wilayah musuh dalam rangka memastikan apakah pasukan Ahzab masih melakukan pengepungan atau sudah mundur.
Setalah menawarkan tiga kali namun tidak ada sahabat yang menjawab, akhirnya Rasulullah SAW menunjuk Hudzaifah untuk menjadi mata-mata. Kepadanya Rasulullah SAW berpesan agar jangan sampai membuat kegaduhan. Hudzaifah menceritakan ketika tiba di area pasukan musuh, “aku melihat Abu Sufyan menghangatkan dirinya dekat api. Kuambil panahku dan hendak aku bidikkan, tetapi aku teringat pesan Rasul SAW., maka aku membatalkan niatku.” Lalu aku kembali dan melaporkan kepada Rasul bahwa pasukan musuh sudah kembali ke Mekah. Saat itu aku dalam kondisi kedinginan, lalu Rasul memberiku sehelai kain penghangat yang biasa beliau gunakan dalam shalat. Aku pun tertidur hingga pagi. Ketika itu, Rasul menyapaku: “qum ya nauman” “bangunlah wahai yang banyak tidur.”
Pada masa pemerintahan sahabat Umar, Hudzaifah bin Al Yaman ditugaskan untuk menjadi Gubernur di Nahawand, dan beliau menetap di sana sampai wafatnya. Tatkala beliau sakit keras yang menyebabkan wafatnya, beberapa sahabat datang mengunjunginya tengah malam. Hudzaifah bertanya, “jam berapa sekarang?”
“Mendekati waktu subuh.” Jawab mereka.
“Aku berlindung kepada Allah dari waktu subuh yang menyebabkan aku masuk neraka.” Ungkap Hudzaifah.
“Adakah dari kalian yang membawa kain kafan?” Tanya Hudzaifah. “ada,” jawab mereka.
“aku tidak butuh kain kafan mahal, jika diriku baik dalam penilaian Allah, maka Dia akan menggantikannya untukku dengan kain kafan yang lebih baik. Namun, jika aku tidak baik dalam pandangan-Nya, Dia akan menanggalkan kain kafan itu dari tubuhku.” Ujar Khudzaifah.
Lalu ia berdo’a, “ Ya Allah! Sesungguhnya engkau mengetahui bahwa aku lebih suka faqir daripada kaya, aku lebih suka sederhana daripada mewah, dan aku lebih suka mati daripada hidup.”
Setelah berdoa demikian, Hudzaifah bin Al Yaman meninggal dunia. Semoga Allah ta’ala melimpahkan Rahmat-Nya. Beliau wafat di kota Mada’in pada tahun 35/36 Hijriyah, selisih 40 hari setelah wafatnya sahabat Utsman bin Affan.