REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Ilfan Zulfani *)
Nama aslinya Darwis, latar belakangnya seorang akuntan. Anak kecil yang dulunya tumbuh di pedalaman Sumatera ini, menjadi bintang dalam bidangnya: karya sastra. Beberapa bulan yang lalu, sebelum Tere Liye memutuskan untuk mencabut kontrak dengan penerbit yang mengedarkan bukunya, para penikmat buku sudah lazim melihat banyak novel Tere Liye selalu “berserakan” di setiap toko buku. Total sampai saat ini Tere Liye sudah menerbitkan 28 buku dalam kurun waktu sekitar 13 tahun.
Buku-bukunya pun hampir tidak pernah tidak menjadi best seller. Berbondong-bondong anak remaja membeli novelnya, tidak terhitung secara resmi bagi yang membelinya di toko buku bajakan di sudut-sudut pasar tradisional.
Mengapa karya Tere Liye begitu disukai banyak orang? Setidaknya ada beberapa alasan, menurut saya pribadi. Pertama, cara bercerita Tere Liye sangat mudah dicerna. Dengan tetap memiliki keindahan tersendiri sebagai produk sastra, Tere Liye sepertinya berkonsentrasi penuh pada upaya agar para pembaca merasa terhibur.
Seperti yang pernah dibeberkan oleh beliau di salah satu kegiatan bedah buku tentang apa motivasinya dalam menulis: menghibur dan menemani, katanya. Tak lebih. Sehingga urusan hal-hal lain seperti pamer kecerdasan tak dihiraukan seorang Tere. Ia tak unjuk kebolehan menggunakan teknik bercerita yang membuat para pembaca yang awam atau pemula mengernyitkan dahi.
Cerita-ceritanya sangat sederhana tapi tetap berisi. Nilai-nilai yang termuat berkisar tentang keluarga, persahabatan, kesabaran bahkan bisa dibilang sebagian novel Tere Liye sangat sufistik seperti novel Rindu dan Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Sehingga hal ini lah yang menjadi alasan kedua mengapa karya Tere begitu digemari, karya-karyanya begitu dekat dengan kehidupan kita.
Jika Anda yang baru mencoba membaca novel Tere Liye, Anda mungkin akan heran mengapa sang penulis ini tidak memuat biografinya di bagian belakang setiap bukunya. Sama sekali tak ada. Alasannya sangat “tak terduga”, Tere tak punya kepentingan untuk menuliskan biografinya. “Apa yang saya tulis tidak ada hubungannya dengan siapa saya.” Kurang lebih begitu alasan yang pernah ia kemukakan.
Ini senada dengan dawuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Undzur man qola tandzur man qola.” Lihatlah apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan. Di lain kesempatan, Tere juga pernah berujar bahwa ia takut pembaca melakukan semacam sinkronisasi antara apa yang ia tulis dengan kehidupan Tere pribadi. Wajar saja, tulisan-tulisan Tere Liye memang secara tidak langsung mengisyaratkan seorang Tere adalah pribadi yang bijak akan kehidupan.
Selain novel, Tere juga sangat aktif melempar opini tentang isu-isu terkini di laman facebook-nya. Mulai dari isu politik, agama sampai ekonomi dan lain-lain. Masih dengan gaya khasnya, opini Tere Liye meskipun kadang memuat hal yang berat tetap mudah dipahami oleh pembaca yang awam.
Sebagian tulisannya pun membuat ia beberapa kali di-bully karena terlihat menyerang suatu kelompok tertentu yang ia nilai zalim dengan berani. Bahkan facebook pernah menangguhkan akun Tere karena menulis status yang berisi kritikan terhadap pendukung LGBT. Hal ini pun juga menjadikan Tere Liye sebagai penulis yang tak menjaga jarak dengan isu sosial yang terjadi di negeri kita. Sebagai warga negara, ia berkontribusi aktif untuk mencerdaskan sesama.
Per tanggal 31 Januari lalu, Tere mengumumkan ia akan kembali menerbitkan bukunya. Setelah sekitar tujuh bulan berhenti mengedarkan bukunya karena kecewa dengan kebijakan pemerintah mengenai pajak penulis. Terlepas apa alasannya, kembalinya Tere Liye adalah kabar baik bagi segenap penikmat novel di Indonesia.
Kabarnya, ia akan menerbitkan empat novel di tahun 2018. Pagelaran Islamic Book Fair 2018 pun tak luput akan disinggahinya, disana ia akan mengadakan bedah novel barunya yang berjudul Pergi. Kembalinya Tere Liye ini juga diikuti dengan misi Tere Liye keliling di berbagai tempat di Indonesia untuk berbagi ilmu soal kepenulisan.
Semoga dengan hal ini akan banyak muncul penulis-penulis baru yang tak kalah hebatnya dengan bang Tere dan juga tak kenal takut menyuarakan kebenaran meski harus berhadapan dengan bully-an netizen!
*Penikmat karya sastra, mahasiswa FISIP UI