Oleh: Yusuf Maulana, Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku
Saban Lebaran, area perkuburan lazim dikunjungi sebagian Muslimin di negeri ini. Mereka berdoa secara khusyuk kepada kerabat yang meninggalkan dunia terlebih dulu. Di antara ritual yang didapati di kalangan peziarah adalah pembacaan al-Quran, biasanya surat Yaa-Siin.
Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama seputar amalan membaca surat Yaa-Siin di perkuburan; apakah ada nash sahih dari Nabi ataukah tidak.
Sebagai pembuka Juz 23, surat Yaa-Siin diungkai oleh Buya Hamka tentang faedah yang terkandung di sebaliknya. Dalam Muqaddimah Juz 23 Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka mengutip pendapat Imam Ahad bin Hanbal.
Menurut Hamka, “Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan jika surat ini dibacakan di dekat orang yang dalam sakaratul maut, Allah akan meringankan baginya dan mudah keluar roh.”
Tambahnya pula dari Imam Ahmad, “Surat ini membawakan rahmat dan berkat dan memudahkan keluarnya roh dari badan.” Pendapat sang Imam ini dicatat pula oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Buya Hamka sendiri mengalami langsung faedah surat Yaa-Siin. Masih dalam tempat yang sama ketika menerangkan ayat ini, Buya Hamka bercerita kejadian pada 29 Oktober 1976 di Rumah Sakit Pelni, Jati Petamburan, Jakarta. Hari itu tepat jatuh pada Jumat 6 Dzulqaidah 1396 pukul 5 petang hari, Buya Hamka berniat membesuk salah seorang saudaranya yang tengah dirawat.
Saat berjalan ke kamar perawatan saudaranya, Buya Hamka mendapati kejadian yang mengundang iba di salah satu bilik. Seorang perempuan berumur 50 tahunan sedang dikerumuni oleh ahli keluarganya, anak-anak dan cucu-cucunya.
“Semuanya menunjukkan dukacita,” terang Buya Hamka.
Dari informasi yang diberikan pihak keluarga kepada Buya Hamka, sejak pagi nenek itu dalam keadaan sekarat. Hanya saja, amat susah bagi nyonya itu untuk melepaskan napasnya.
“Sudah berulang kali diajarkan kalimat syahadat, sayangnya, tidak ada yang didengarnya lagi, namun kesusahan melepas napas itu kian lama kita jelas,” papar Buya Hamka.
Tampaknya anggota keluarga pasien itu ada yang langsung mengenali sosok Buya Hamka. Dua orang anak dan keluarga dari perempuan yang sekarat itu pun mendatangi ruangan tempat Buya Hamka membesuk. Mereka memohon pada Buya Hamka agar sudi datang ke ruangan tempat anggota keluarganya.
“Barangkali dengan bimbingan saya, si sakit dapat terlepas dari kesulitan sakarat itu,” akui Buya Hamka. “Mereka pun semuanya sudah maklum bahwa harapan buat sembuh sudah tidak ada lagi.”
Buya Hamka pun duduk di pembaringan si pasien itu. Ia meminta beberapa anggota keluarga yang ramai mengelilinginya itu untuk tenang. Agar tidak gelisah dan tidak menangis. Surat Yaa-Siin pun dibacakan Buya Hamka dengan suara tenang, penuh khusyuk, haru dan mengharap, serta memohon kepada Allah. Memohon jika memang telah waktunya agar si sakit dipanggil maka tidak dibiarkan lama menderita.
“Sejak mulai ayat pertama Yaa-Sinn dibaca, mulailah si sakit tidak menghempas-hempas lagi, kian lama kian tenang. Dan sesampai saya membaca pada ayat 77 (awalam yaral insaanu annaa khalaqnahu min nutfatin fa idzaa huwa khasiimun ubin), sampai di ujung ayat itu saya membaca, dan sampai di situ pulalah napasnya yang terakhir,” kenang Buya Hamka.
Sesudah itu si sakit bergerak sekali saja dagunya, dan beberapa detik berikutnya ia pun pergilah untuk selama-lamanya.
“Maka terdengarlah pekik ratap menggarung-garung dari gadis-gadis dan keluarga yang tidak terkendalikan dan bacaan saya teruskan sampai ke akhir surat (Yaa-Siin),” jelas Buya Hamka.
“Waktu itu,” pungkas Buya Hamka, “saya rasakan benar pengaruh dari bacaan itu dan menambah keyakinan saya kepada apa yang diterangkan oleh seorang di antara imam-imam kita yang berpengalaman. Imam Ahmad bin Hanbal dalam menjalankan sabda Rasulullah, supaya dibacakan Yaa-Siin untuk orang yang telah dekat waktunya meninggalkan dunia fana ini.”
Hadirnya orang berilmu pada saat-saat tak terduga da nada musibah mendera, tentulah sebuah anugerah. Seperti keluarga pasien tersebut mendapati Buya Hamka. Hadirnya sang ulama bukan untuk pemulihan pasien seperti sedia, melainkan bagaimana dera sakarat yang seperti tampak menyiksa segera diakhiri dari depan mata langsung mereka.
Kehadiran yang tepat dengan andil yang memikat untuk menghadirkan perubahan, sangatlah dinantikan pada tiap saat. Kehadiran yang memberikan kelegaan bagian sesiapa yang mengundang dan orang-orang yang menyaksikan. Bukan memberikan tanda Tanya atau apalagi cerca akibat adanya tumpang tindih motivasi kehadiran dan lipatan politik kepentingan.
Tiap kita sesungguhnya bisa berperan menuntaskan “sakarat” saudara yang lain seman ataukah sekemanusiaan. Ketika yang lain tak bisa berbuat apa-apa, sementara kita bertindak tepat meniupkan “Yaa-Siin” secara akurat di “pasien” yang berada dalam kesakitan. Kehadiran kita tulus untuk melukai sakit itu; bukan melahirkan sakit yang lebih akut.
Tiupan selaksa “ayat kehadiran” di Yerusalem berikut dogma-dogma seolah ada yang salah dari sebagian Muslimin yang berjuang melawan penindasan di Bumi al-Quds Tanah Palestina, jelas amat kontras dengan kehadiran Buya Hamka untuk meneduhkan sakitnya pasien yang tertunda sakarat.
Hadirnya penokoh kelompok keagamaan dan sosok penasihat penguasa ini untuk berceramah soal kemanusiaan tapi malah hadirkan luka kemanusiaan, tidak lain sebentuk ketidaktahuan memilih momen kehadiran yang menghadirkan ridha Ilahi dan sokongan nurani umat manusia yang waras.
Ada salah meletakkan Yaa-Siin ketika ingin menegakkan perjuangan kemanusiaan; kononnya saat ia tak mau lagi ada peperangan sebagai jalan pemecahan. Yang ada malah serupa buhul Yaa-Siin yang dilarikan kepada kepentingan pencipta kesakitan dalam kemanusiaan di muka bumi ini. n