Rabu 25 Apr 2012 17:56 WIB

Tak Ada Pohon di Kepalamu

Semakin tinggi pohon, tiupan angin semakin kencang
Semakin tinggi pohon, tiupan angin semakin kencang

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Budi Sabarudin*

Tak ada pohon singkong, ubi, jagung

Talas di tubuhmu. Juga kangkung, kentang, lobak, dan wortel

Sekarang kepalamu sudah tak berambut. Tak ada pohon jengkol

Pete atau nangka yang tumbuh untuk kebutuhan makan

Dengan sambal terasi. Atau sekedar berteduh disaat cuaca panas

Aku khawatir, ini pertanda kepalamu sudah tak subur lagi toh?

Cobalah cari pupuk di mesjid-mesjid atau tempat-tempat ibadah

Jangan kau kira berdo’a dan membaca kitab suci itu

tidak membuat jiwamu sehat

Aku pun gregetan ingin segera mencangkul kepala hingga ke dadamu

Agar lebih gembur, meski aku sendiri petani yang tak punya cangkul

Karena sudah ditukar dengan lap-lap atau kesetan hotel,

Apartemen, pabrik, perumahan-perumahan, tempat-tempat hiburan

Atau kubajak saja dengan wuluku dan kerbau

yang aku sewa dari orang-orang Vietnam

Lalu, kutanam benih-benih padi unggul

Dan suatu ketika aku ingin memanennya bersama anak-anakmu,

Cucu-cucumu, dan tentu saja rakyatmu

Aku tak ingin rakyat jelata memamah beras miskin

Bukankah beras miskin itu lebih pantas untuk ayam, kunyuk,

Ulat, bebek, atau bahkan anjing dan babi?

O, kepalamu

Pundakmu

Dadamu,

Bibirmu

Itu bisa kutanam benih-benih unggul dari jenis buah-buahan :

Duren, mangga, anggur, apel, alpukat, semangka, sirsak dari kota hujan

Aku pun bermimpi ingin menjadikan sekujur tubuhmu pohon kelapa

Yang ada di pantai-pantai, sawah-sawah, dan gunung-gunung

Pada batangnya yang kuat kubuat tangga bercoak, tempat kaki ini memanjat

Juga tumbuh bunga-bunga kadaka, tempat burung-burung bertelur dan beranak

Di tanganmu

Di kakimu

Di wajahmu

Di telingamu

Aku menanti bunga-bunga anggrek tumbuh

Lalu kupu-kupu berterbangan di pagi hari

Bermandikan embun

Sedang di matamu, di hatimu, dan di ujung kakimu

Bagaimana jika kutanam saja tumbuh-tumbuhan apotek hidup?

Seperti bawang putih kantil, seledri, dan belimbing untuk obat darah tinggi

Atau babadotan yang daunnya bisa mengobati luka dan bahkan

Borok-borok di pikiran, perasaan, pantat, dan kemaluanmu

Pohon saga dengan daunnya yang hijau mungil-mungil itu

Bisa ditanam untuk mengobati sariawan yang kerap muncul di mulutmu

Daun kapuk atau daun jarak juga bagus

untuk mengobati perutmu yang selalu panas, karena salahmu sendiri

mengapa selalu menerima komisi dari perijinan

Atau pengusaha-pengusaha nakal

Dan kau habiskan komisi itu di restoran-restoran asing

Hingga tak biasa makan di warteg-warteg lagi

“Sekarang jaman serba canggih

Untuk apa pohon, buah-buahan, atau sayur-mayur

Dan apotek hidup?”

‘’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’

“Itu semua bisa dipesan secara online. Semua juga sudah

Serba kalengan.”

‘’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’

“Sampai kapan pun aku tak ingin jadi pohon. Aku jadi beton saja!” katamu.

Tangerang, 23 April 2012

Budi Sabarudin, dilahirkan di desa Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Senang menulis cerpen dan puisi serta naskah drama anak-anak. Karya cerpen dan puisi pernah dimuat di koran lokal dan nasional. Mengelola Sanggar Kancil yang menggarap teater halaman rumah untuk anak-anak. Salah satu cerpennya terangkum dalam antologi cerpenis Mataram-NTB (1998). Kini bekerja sebagai jurnalis.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement