Jumat 07 Feb 2014 10:50 WIB

Belajar Membaca

Hawe Setiawan
Foto: Dok/Republika
Hawe Setiawan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hawé Setiawan (Kolomnis lepas, mengajar di Universitas Pasundan, Bandung)

Di ujung abad ke-20, di pangkal abad ke-21, kita beringsut dari peradaban pradigital ke peradaban digital.

Dalam pergeseran itu, kegiatan membaca dan menulis —juga berbicara, menyimak, dan menonton— berlangsung secara serentak dan interaktif: berbalas sandek, mengisi dan mengomentari status dalam jejaring sosial, menyimak buku audio, dan sebagainya. Kita membaca sekaligus menulis.

Sumber-sumber bacaan kian banyak dan terbuka untuk diakses, menggelontor tiada henti, menggenangi masyarakat pembaca.

Untuk mendapatkan informasi mengenai satu hal, kita tidak lagi dibatasi oleh lembaran koran dan majalah yang diselundupkan ke bawah pintu ruang tamu. Sekarang kita leluasa berselancar di jagat virtual yang menyediakan jejaring tak berujung.

Sering kegiatan seperti ini menimbulkan sensasi seperti perawi hadis yang sedang mengembara mencari konfirmasi atas keterangan mengenai tutur kata atau tindak-tanduk sang Nabi. 

Pustaka dan kalawarta tidak hanya tersedia dalam bentuk cetakan melainkan juga tersedia dalam bentuk elektronik. Barangnya kian ringan dijinjing dan mudah dibawa, melampaui batas-batas ruang hidup manusia, bahkan tidak dijinjing dan tidak dibawa-bawa pun tetap dapat diakses melalui internet.

Sejumlah media konvensional bahkan beralih sepenuhnya ke media virtual. Fasilitas yang membuka akses ke jagat virtual juga sudah lazim tersedia di berbagai perpustakaan di seluruh dunia. Melalui jaringan komunikasi virtual pula terbentuk jejaring di antara berbagai perpustakaan yang secara fisik berjauhan. 

Sehubungan dengan gejala-gejala demikian, saya turut merasakan adanya apa yang oleh Edward Said disinggung-singgung sebagai “democratic field of cyberspace” yang pada dasarnya tidak mungkin dikerangkeng oleh tiran atau ortodoksi manapun.

Namun, seraya mensyukuri keadaan demikian, yang hingga akhir dasawarsa 1980-an hampir-hampir tak terbayangkan, saya merasakan adanya kekhawatiran. Di tengah kian pesatnya kecepatan lalu-lintas komunikasi antarmanusia, kita cenderung menjadi tidak sabar, selalu merasa terburu-buru, terlampau cepat mengambil kesimpulan. Di tengah kian terbukanya akses ke berbagai sumber bacaan dan di tengah kian gencarnya terpaan berbagai media informasi dari sana-sini, kita cenderung mencerap informasi sepotong-sepotong, tahu banyak tapi tidak paham, luas tapi dangkal, kian jauh dari pergulatan pemikiran.

Barangkali itulah sebabnya saya teringat kepada tulisan pengantar dari Edward Said atas republikasi karya utamanya, Orientalism, dua puluh lima tahun sejak buku terkenal itu pertama kali terbit, beberapa tahun sebelum Said wafat.

“Di atas segalanya, pemikiran kritis tidak tunduk pada kekuasaan negara atau perintah untuk bergabung dengan barisan yang berderap melawan satu-dua musuh yang disepakati. Ketimbang benturan antarperadaban yang dirancang-rancang itu, kita perlu memusatkan perhatian pada kerja bersama yang lambat di antara budaya-budaya yang tumpang tindih, saling meminjam, dan hidup bersama dengan cara yang jauh lebih menarik daripada yang dimungkinkan oleh cara memahami yang serba ringkas atau tidak otentik. Namun, untuk jenis persepsi lebih luas semacam itu, kita perlu waktu dan kesabaran serta telaah skeptis, yang ditopang oleh keteguhan komunitas-komunitas interpretasi yang sulit bertahan dalam dunia yang menuntut tindakan dan reaksi instan,” tulis Said.

Jika republik literasi mesti dipertahankan, kita perlu meneruskan kebiasaan manusia yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun itu: kesanggupan untuk sabar membaca pikiran sesama manusia, secara tenang dan anteng, menyerap dan mengolah informasi menjadi pengetahuan, untuk menopang rangkaian kerja budaya yang tak akan berkesudahan, demi perbaikan kondisi kemanusiaan.

Itulah yang saya maksudkan dengan belajar membaca. Jika republik literasi mesti dipertahankan, maka perpustakaan, rumah baca, jagat wacana, kiranya adalah tempat yang tepat untuk berbuat demikian.

Perpustakaan adalah benteng terakhir kemanusiaan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement