REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie
Melalui drama, Arthur Miller mengkritik kapitalisme.
“Death of a Salesman” mengisahkan Willy Loman, seorang salesman tua, 63 tahun, yang mengabdi di perusahaan selama 36 tahun. Kesehatannya rapuh, minta wilayah kerja dekat, juga perbaikan gaji. Ironis, bukannya dikabulkan, oleh pemilik baru perusahaan ia tak digubris.
Willy punya impian wajar seperti umumnya orang-orang biasa di negeri kapitalis. Impian sukses. Impian yang diukur dengan kepemilikan uang yang banyak, nampak dari mobil dan rumah besar, memiliki keluarga, terhormat dan disukai masyarakat sekitarnya.
Impian itu tak pernah tercapai, bahkan ditagih angsuran rumah. Kini, di usia tua ia dipecat. Impian agar anak-anaknya sukses juga tak sampai.
Anaknya yang sulung adalah bintang di sekolah, tetapi tidak cocok dengan Willy. Anak kedua tidak memiliki prestasi menonjol. Istrinya adalah ibu rumah tangga penurut, yang menisik stoking robek, padahal di kota yang lain Willy membelikan stoking baru untuk perempuan selingkuhnya. Impian yang diraih Willy hanya di bagian tepi.
Willy berkerah putih, gagah, tapi harus selalu meminjam uang pada teman dekatnya. Willy berdasi, merasa salesman terhormat, tapi membual. Willy punya rumah tapi tak kunjung lunas. Willy bersenang-senang, tapi dengan selingkuhnya.
Berada di tepian sedemikian adalah wajar di tengah budaya konsumerisme. Di sana banyak hal-hal yang dipamerkan: makanan, pakaian, musik, hiburan, sampai kesenangan syahwat. Orang-orang lalu mengorbankan waktu dan uang di wilayah simbul. Sepatu, pakaian atau mobil harus merek tertentu. Simbul sukses, pertanda lebih baik dari sekitarnya, dari tetangganya.
Willy hanya salah satu korban, dipecat, frustasi, bertengkar dengan anaknya. Tapi ia tak pernah melepas impiannya, kalaupun bukan dirinya yang meraih, ia berharap anaknya dapat mencapainya, untuk itu butuh modal, butuh uang. Satu-satunya harapan berasal dari asuransi, jalannya: ia harus mati. Willy lalu bunuh diri.
***
Tidak sedikit yang menyatakan, kegagalan Willy ini disebabkan kesalahan impiannya. Apapun analisis dan penafsiran terhadap drama ini, tak bisa dipungkiri, drama terbaik Arthur Miller ini mendapat berbagai penghargaaan. Meski telah lebih 60 tahun, drama ini tetap mendapat perhatian karena kekayaan sisi kandungannya: nilai keluarga, kapitalisme, filsafat, ekonomi sampai stoking sebagai simbul konsumerisme syahwat berbentuk perselingkuhan.
***
Willy yang gagal, apakah hanya milik keluarga tingkatan ekonomi menengah?
Lihat selebriti atau eksekutif yang kelayapan di hiburan malam, yang berselingkuh atau menenggak minuman keras, kegagalannya disembunyikan. Baru nampak setelah ada pertengkaran, perceraian, atau anak-anak yang tertangkap karena narkoba.
Mungkin juga kita, bermobil bagus, bersepatu mahal, rumah bekamar-kamar tetapi kosong, serta berpakaian indah. Memang tidak segagal Willy, tapi kita punya bintik atau garis kegagalan untuk meneguhi syariat. Kita boros, kita berdosa. Ya, Allah, ampunilah kami.■
Impian willy tentang hidup sukses, adalah menjadi orang terkenal, banyak disukai orang, punya banyak uang, tapi apakah itu tujuan hidup yang sesungguhnya?
Mungkin wily menjawab: ya!
Dan kelak silahkan masuk neraka.