REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie
Tatkala wilayah itu bernama Limbangan (sekarang: Garut), ada sastrawan bernama Moehamad Moesa (1822-1886). Di jaman kolonial itu, sastrawan adalah tokoh terdidik, melampaui rakyat kebanyakan yang hanya buruh tani. Beliau dihormati, dan memiliki kedudukan di pemerintahan. Salah satu putranya bernama Kartawinata (1846-1906), selain diangkat sebagai patih (semacam wakil bupati) di Sumedang, ia mengikuti jejak ayahnya, sastrawan.
Mikihiro Moriyama seorang guru besar yang mendalami kesastraan Sunda menulis, Kartawinata mengenalkan “bentuk” tulisan baru, tentu saja bentuk ini dipengaruhi orang-orang Belanda yang bersahabat dengan para sastrawan saat itu. Bentuk baru ini sudah disinggung sang ayah, Mohammad Moesa, tatkala menulis “Cerita-Cerita Teladan”, ia sudah menyatakan bahwa cerita ini tidak dibuat dalam bentuk syair, tapi berbentuk kalimah.
Bentuk ini menjadi lebih tegas tatkala putranya, Kartawinata, menyusun terjemahan buku cerita dari Bahasa Belanda, ia menyebutnya sebagai bentuk “omomgan”.
Bentuk karya tulis demikian belum dikenal, karya sastra umumnya berupa sajak. Karya itu disampaikan turun temurun, dari generasi ke generasi, berirama. Di tulis dalam bait-bait, pupuh. Dandanggula, asmarandana, kinanti, sinom. Bentuk kalimah atau omongan, di masa kini kita kenal sebagai prosa.
***
Teknologi cetak Gutenberg lahir di abad 15. Surat kabar telah dicetak di Batavia di tahun 1744 (sungai Ciliwung masih jernih, dan kantor Republika masih hutan, banyak ularnya). Menjelang akhir abad 19, semakin banyak buku dicetak. Kartawinata menguasai bahasa Sunda maupun bahasa Jawa dengan baik.
Ia diakui kemampuannya oleh Pemerintah Belanda untuk menerjemahakn buku-buku Belanda menjadi buku bacaan pribumi, bahasa Sunda dan Jawa. Salah satu hasil terjemahannya adalah karya yang telah terkenal di negeri Belanda, “Carita Kapitan Bonteku” (Sunda) dan “Cariyosipun Kapitan Bonteku” (Jawa). Buku prosa Kartawinata ini dianggap cikal bakal novel Sunda yang terbit tahun 1914 (Baruang Ka Nu Ngarora?).
Tepat beriringan, di Surakarta terdapat seseorang yang dianggap sebagai pelopor sastra Jawa modern, Ki Padmasusastra (1943-1926). George Quinn, peneliti novel-novel Jawa di Australian National University, Canberra, menyatakan, membicarakan sastra Jawa tidak bisa dilepaskan dari murid Ranggawarsito bernama Padmasusastra. Salah satu karyanya yang banyak dibahas adalah novel “Rangsang Tuban”.
***
Sastra Nusantara telah sejak lama mengenal bentuk prosa, Hikayat Hang Tuah, Legenda Tangkuban Perahu atau Nyi Roro Kidul, tetapi mesin cetak memicu terjadinya lompatan. Mesin itu membantu karya sastra, prosa misalnya, dapat diperbanyak dengan mudah sehingga mencapai berbagai kalangan, yang dapat dibaca tanpa harus melagukannya.
Khalayak bukan lagi para bangsawan, tapi juga rakyat kecil. Bila orang Palembang lebih suka membaca berita tentang Palembang, orang Makassar menyukai berita tentang Makassar. Dan rakyat kecil? Pasti lebih suka membaca tulisan faktual kehidupan sehari-hari. Isi Prosa bergeser, tokoh tidak harus bangsawan, tidak harus sakti dan sakral. Muncul novel tentang rakyat kecil yang melarat, saudagar yang mabuk, sampai roman percintaan.
Teknologi Mesin cetak membuat lompatan di sejarah perjalanan sastra, dan itu perjalanan peradaban.
Kini. 100 tahun setelah jaman Padmasusastra dan Kartawinatadri Limbangan.
Mesin cetak Gutenberg sudah dimuseumkan, teknologi komputer mencetak koran dalam satuan milidetik. Internet menukik di mana-mana, anak SD yang masih belum bisa mengalikan angka 2 dengan 3, sudah pintar menekan tombol memunculkan Google atau Youtube.
Sudahkah peradaban ini bergerak ke arah yang lebih baik? Atau pertanyaannya menukik untuk setiap diri-diri kita, sudahkan lebih baik dibanding hari kemarin. Dibanding hari-hari di masa lalu ?