REPUBLIKA.CO.ID, TANGSEL -- Penjelajahan Danarto ke wilayah sastra religius makin dalam dan sufistik. Hal itu tampak ketika novelis tersebut menyampaikan kultum sastra pada Tadarus Puisi Litera di kafe Roti Bakar 88 Pamulang, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, Sabtu malam (17/6) lalu.
Siaran pers Litera yang diterima Republika.co.id, Sabtu (24/6) menyebutkan, novelis yang juga penyair itu mengawali kultumnya dengan membicarakan sajak “Doa Rabiah dari Basra” karya ibu para sufi besar, Rabiah al Adawiyah, terjemahan Taufiq Ismail, berikut ini.
Wahai Tuhanku, apa pun jua bahagian dari dunia kini yang akan Kau anugerahkan padaku, anugerahkanlah itu pada musuh-musuhMU. Dan apa pun juga bahagian dari dunia akan tiba yang akan Kau anugerahkan padaku, anugerahkanlah itu pada sahabat-sahabatMu. Bagiku, Dikau sudah cukup.
Wahai Tuhanku, urusanku dan gairahku di dunia kini dan dunia akan tiba adalah semata mengingat Dikau di atas segalanya. Dari kesegalaan di semesta ini, pilihanku adalah berangkat menemui-Mu. Inilah yang akan kuucapkan kelak: “Dikau segala-galanya.”
Wahai Tuhanku, tanda mata paling permata dalam hatiku ialah harapanku padaMu. Dan kata paling gula di lidahku adalah pujian padaMu. Dan waktu paling kurindu adalah jam ketika aku bertemu dengan Kau.
Wahai Tuhanku, aku tak dapat menahankan hidup duniawi ini tanpa mengingatMu. Dan bagaimana mungkin daku hidup di dunia akan tiba tanpa menatap wajahMu?
Wahai Tuhanku, inilah keluhanku. Daku ini orang asing di kerajaanMu dan mati kesepian di tengah-tengah penyembahMu!
Wahai Tuhanku, jangan jadikan daku kelewang di tangan penakluk perkasa. Jelmakan daku jadi tongkat kecil penunjuk jalan si orang buta.
Wahai Tuhanku, jangan jadikan daku pohon besar yang kelak jadi tombak dan gada peperangan. Jelmakan daku jadi batang kayu rimbun di tepi jalan tempat musafir berteduh memijit kakinya yang lelah.
Wahai Tuhanku, sesudah daku mati masukkanlah daku ke dalam neraka. Dan jadikan jasmaniku memenuhi seluruh ruang neraka sehingga tidak ada orang lain dapat dimasukkan ke sana.
Wahai Tuhanku, bilamana daku menyembahMu karena takut neraka, jadikan neraka kediamanku. Dan bilamana daku menyembahMu karena gairah nikmat di sorga, maka tutuplah pintu sorga selamanya bagiku. Tetapi apabila daku menyembahMu demi Dikau semata, maka jangan larang daku menatap KeindahanMu yang abadi.
Kehadiran Danarto dengan sajak Rabiah itu membuat dialog pembuka tadarus puisi tersebut menjadi sangat dalam dan sangat sufistik. Sajak yang sangat disukainya itu, menurut Danarto, berbicara tentang keikhlasan. Seorang Muslim yang ikhlas, menurutnya, beribadah bukan karena takut neraka atau ingin masuk sorga, tapi semata-mata untuk mendapatkan ridha dari Allah.
Dialog pun melebar ke masalah wahyu dan kenabian, serta tugas Malaikat Jibril, yang menurutnya masih membawa “wahyu kenabian” kepada manusia. “Malaikat Jibril belum pensiun. Jibril masih bertugas menyampaikan kabar gembira kepada manusia. Ini menurut tafsiran saya,” katanya dalam kultum sastra dialogis bertema “Sastra sebagai Ibadah Kultural”.
Sastrawan senior yang terkenal dengan beberapa novel dan kumpulan cerpennya, seperti Godlob, Adam Ma’rifat, dan Setangkai Melati di Sayap Jibril itu mengatakan hal tersebut berdasarkan pada surat Al Mukmin ayat 15 yang artinya:
“(Dia-lah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, yang memiliki Arsy, yang menurunkan wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya, agar memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat).”
Menurut Danarto, Jibril tentu masih memberi berita pada manusia atau hamba-hamba yang dikehendaki Allah. Danarto memisalkan bahwa jika banyak ulama yang mampu menulis kitab yang tidak semata tebal tapi juga banyak memuat persoalan umat dan kehidupan yang begitu kompleks, sangat mungkin ulama tersebut mendapat bisikan dari malaikat Jibril atas kehendak Allah.
Begitu juga dengan para pujangga terdahulu semacam Rabiah al Adawiyah, Abu Yazid al Busthami, Junaid al Baghdadi, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan Fariduddin Athar, yang memiliki kedekatan dengan Allah. Suara mereka adalah suara batin yang penuh cinta.
“Hanya saja saat ini terjadi kemerosotan peradaban Islam. Teks Alquran juga dimaknai secara kaku sebatas teks. Puisi religius juga seakan berbicara hanya hubungan manusia dengan Tuhan dan terlepas dari persoalan kemanusiaan. Padahal, sastra religius mestinya juga berbicara masalah sosial, politik, dan ekonomi,” katanya.
“Dengan memperluas wilayah garapan sastra religius itu, menurut Danarto, sastrawan bisa memainkankan peran yang lebih besar dan sastra bisa menjadi suatu ibadah kultural,” lanjut sastrawan yang juga dikenal sebagai pelukis tersebut.
Tadarus Sastra Litera malam itu dihadiri beberapa sastrawan, penyair, dan pegiat seni, seperti Humam S Chudori, Uki Bayu Sedjati, H Shobir Poer, Mustafa Ismail, Willy Ana, Mahrus Prihany, Zaenal Radar T, Nurdin, Adang, Titis, dan Tao, serta Ahmadun Yosi Herfanda selaku tuan rumah. Acara santai dengan konsep bincang-bincang diselingi tadarus (baca) puisi religius secara bergilir tersebut dimulai pukul 21.00 untuk memberi kesempatan hadirin menjalankan salat Tarawih terlebih dahulu.
Pada sambutan pembukanya, Ahmadun mengatakan acara tadarus sastra ini merupakan bagian dari acara rutin Litera dengan konsep bincang sastra. “Selain bincang dan diskusi, sesekali acara juga diisi peluncuran dan pembahasan buku,” katanya.
Pada bagian lain pembicaraannya, Danarto mengatakan, sastra bisa berbuat dan berperan lebih besar untuk memperbaiki tatanan kehidupan. “Sastrawan itu orang yang memiliki kepekaan dan kepedulian tinggi dalam membaca dan memahami kehidupan,” tutur Danarto, sastrawan kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 77 tahun lalu.
Selain Danarto, yang membacakan puisi “Doa Rabiah dari Basra”, Humam S. Chudori, Mustafa Ismail, Uki Bayu Sedjati, Titis, dan H. Shobir Poer, juga ikut membaca puisi secara bergantian. Acara kemudian ditutup pukul 23.20 mengingat kesehatan Danarto yang sedikit terganggu. Beberapa hadirin masih terlihat berbincang seusai Danarto meninggalkan ruang tadarus.