Mengenai keutamaan umroh di bulan Rajab
Ada sebagian dari kita yang berpikir, bahwa melaksanakan umroh pada bulan Rajab lebih utama dibandingkan bulan-bulan lainnya. Padahal, tidak ada keutamaan secara khusus umroh pada bulan Rajab dengan bersandar kepada dalil shahih. Rasulullah sendiri tidak pernah mengerjakannya, tidak pernah menyetujui salah seorang sahabat yang melakukannya. Dan, apabila Beliau menganjurkan umroh pada bulan Rajab secara khusus, maka itu tidak tsabit.
Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, dia berkata, “Aku dan Ibnu Umar pernah bersandar di pintu kamar ‘Aisyah, dan sungguh kami mendengar suara siwaknya.” Dia (Urwah) berkata, "Aku bertanya kepada Ibnu Umar, 'Wahai, Abu Abdurrahman. Apakah Nabi pernah umroh pada bulan Rajab?' Dia menjawab, 'Ya.' Maka, aku bertanya kepada ‘Aisyah, 'Wahai, Bunda. Apakah engkau tidak mendengar yang telah dikatakan oleh Abu Abdurrahman?' Aisyah menjawab, 'Apa yang dikatakannya?' Aku berkata, 'Dia mengatakan bahwa Nabi umroh empat kali. Salah satunya pada bulan Rajab.' Maka, Aisyah berkata, 'Semoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman. Demi agamaku, tidaklah Beliau umroh pada bulan Rajab, dan tidaklah Beliau umroh pada salah satu umrohnya, kecuali dia bersamanya.' [Beliau tidak umroh pada bulan Rajab saja]." Dia (Urwah) berkata, ”Ibnu Umar mendengar, tetapi dia tidak berkata ‘ya’ ataupun ‘tidak’, bahkan diam.” [Dikeluarkan Al-Bukhari (Ash-Shahih) 3/599-600 no. 1775 & 1776, Muslim (Ash-Shahih) 2/916 no. 1255 dan selain keduanya]
Ini menunjukkan keraguan Ibnu Umar, sehingga sama saja baginya, baik dia mencabut kembali perkataannya ataupun tidak. Sesungguhnya dia menyendiri, maka perkataannya syadz lagi munkar, tidak disepakati oleh seorang pun sahabat yang mulia, dan tidak pula oleh para imam yang alim.
Berkata Ibnu Al-Jauzi di dalam (Musykilnya), “Diamnya Ibnu Umar tidak lepas dari dua keadaan; Mungkin dia syak (ragu) maka diam atau dia menyebutkan setelah lupa maka dengan diamnya itu dia kembali kepada perkataannya. Dan ‘Aisyah telah mengoreksi dengan koreksi yang baik."
Dan Anas berkata, “Rasulullah umroh empat kali, semuanya di bulan Dzulqa’idah.” Dan hadits ini menunjukkan kuatnya hafalan ‘Aisyah dan pemahamannya yang bagus. Az-Zarkasi menukilnya di (Al-Ijabah) hal. 94 cet. Al-Maktab Al-Islami – Beirut.
Kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya juga, di antaranya Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H). Beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96, “Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu (merupakan) kedustaan yang diada-adakan.”
Al ‘Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H). Beliau berkata di penutup kitab Safar As Sa’adah, hlm. 150, “Dan bab shalat Raghaib, shalat Nishfu Sya’ban, shalat Nishfu Rajab, shalat Iman, shalat malam Mi’raj, … bab-bab ini di dalamnya secara pasti tidak ada sesuatu pun yang sah.”
Beliau juga berkata, “Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada sesuatu pun yang tsabit. Bahkan sebaliknya, ada riwayat yang memakruhkannya.”
Berpuasa di bulan Rajab
Imam Suyuti berkata di dalam Al Amru Bil Ittiba’ Wa nahyu ‘Anil Ibtida’, lembaran 14 / 1: Asy Syafi’i berkata, "Aku membenci seorang laki-laki yang menjadikan puasa (Rajab) sebulan penuh sebagaimana puasa Ramadhan. Demikian pula puasa sehari di antara hari-hari yang lainnya."
Abu Al Khatab menyebutkan di dalam kitab Ada’u Ma Wajaba Fi bayani Wadh’i Al Wadhi’in Fi Rajab, dari orang kepercayaan, Ibnu Ahmad As Saji Al Hafizh, beliau berkata, "Imam Abdullah Al Anshari, syaikh negeri Khurasan tidak pernah puasa Rajab, bahkan melarangnya. Beliau berkata, ’Tidak ada sesuatu pun yang sah datang dari Rasulullah tentang keutamaan Rajab dan puasa padanya.’” Beliau berkata, ”Sesungguhnya para sahabat membenci puasa Rajab. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma. Umar pernah mengumpamakan orang yang sering puasa Rajab seperti dirrah (susu yang melimpah-limpah, lihat Mukhtarush Shihah) Aku berkata, 'Permisalan Umar ini terdapat di dalam Al Mu’jam Al Ausath, karya Thabrani dan di dalamnya ada orang yang bernama Al Hasan bin Jabalah.'" Al Haitsami berkata di dalam Al Majma’ 13/191, ”Aku belum pernah menemukan orang yang menyebutkannya, dan rijal hadits yang lainnya tsiqah.”
Menurut Ibnu Wadhah dalam Al Bida’ hlm. 44 dan Al Faqihi dalam Kitabu Makkah, sebagaimana dikatakan oleh Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al Ba’its ‘Ala Inkar Al Bida’ Wal Hawadits, hlm. 49. Beliau berkata juga, “Abu Utsman Sa’id bin Mansur menyandarkannya kepada imam yang disepakati keadilannya dan disepakati mengeluarkan dan meriwayatkannya,” dan beliau berkata, “Ini adalah sanad yang para perawinya disepakati keadilannya.”
Ath Thurtusi dalam Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 129 dan Abu Syamah dalam Al Ba’its, hlm. 49 menukil kebencian Abu Bakar pada puasa Rajab.
Imam Abdullah Al Anshari, menukil dari Asy Suyuthi rahimahullah Ta’ala: Jika dikatakan puasa Rajab adalah amalan yang baik, maka katakan padanya, mengamalkan kebaikan hendaknya sesuai yang disyari’atkan Rasulullah. Bila kita tahu, bahwa itu dusta atas nama Rasulullah, maka itu keluar dari yang disyari’atkan, dan mengagungkannya termasuk perkara jahiliyah, sebagaimana kata Umar.
Umar pernah memukul rajabiyyin, yaitu orang-orang yang berpuasa Rajab. Adapun Ibnu Abbas, seorang ulama Alquran membencinya juga. Dan dikeluarkan oleh Abdurrazaq di dalam Mushannaf 4/292, dari Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa dia membenci seluruh puasa Rajab, agar tidak dijadikan hari raya. Isnadnya shahih, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Tabyin Al Ajab, hlm. 65, 66 – Al Misriyyah.
Asy Suyuthi berkata juga: Biasanya bila Ibnu Umar melihat manusia dan apa yang mereka siapkan untuk bulan Rajab, (maka) beliau membencinya. Beliau berkata, ”Berpuasalah pada bulan Rajab dan berbukalah, karena dia adalah bulan yang dahulu dimuliakan kaum jahiliyyah.”
Ada pula riwayat dari salaf, bahwa dahulu mereka mengingkari perbuatan orang-orang yang mengistimewakan bulan ini dengan berpuasa. Hal ini seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah Rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Kharsyah bin Al Hurr, ia berkata, "Saya menyaksikan Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu memukuli tangan orang-orang di bulan Rajab, sampai mereka meletakkan tangan-tangan mereka di piring-piring makannya (melarang mereka berpuasa), dan Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Makanlah kalian, bulan ini adalah bulan yang dahulu dimuliakan orang-orang jahiliyah.”" [Ada’u ma Wajab (hal. 57 dan 63)]
Juga ketika Abu Bakr Radhiyallahu ’anhu menemui keluarganya dan melihat mereka membeli cangkir-cangkir minum, dan bersiap-siap untuk puasa, ia berkata, “Apa ini!”
Mereka menjawab, “Rajab.”
Abu Bakr Radhiyallahu ’anhu berkata, “Apa kalian ingin menyerupakannya dengan Ramadhan? Lalu ia memecahkan cangkir-cangkir tersebut.” [Majmu’ Fatawa (25/290-291)]
At Turthusi dalam Al Hawadits Wal Bid’ah, hlm. 129 dan Abu Syamah di dalam Al Ba’its, hlm. 49 menyebutkan atsar Ibnu Umar ini. Dan di hlm. 130-131 berkata, ”Puasa Rajab dibenci berdasarkan salah satu dari tiga segi. Salah satunya adalah bila orang-orang mengkhususkannya dengan puasa pada setiap tahun, maka orang-orang awam yang tidak tahu akan menyangka (bahwa) itu wajib seperti puasa Ramadhan, atau mungkin sunnah yang tetap yang dikhususkan Rasulullah untuk berpuasa, seperti sunnah-sunnah rawatib. Dan bisa jadi, puasa itu ditentukan karena keutamaan pahalanya dibanding seluruh bulan, sebagaimana puasa ‘Asy Syura. Maka puasa itu dianggap ada karena ada keutamaannya, bukan hanya karena sisi sunnah atau wajibnya.
Andaikata hal ini terjadi karena ada keutamaannya, tentu Rasulullah telah menjelaskan atau Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya, meskipun sekali seumur hidupnya. Sebagaimana Beliau pernah melakukan puasa ‘Asy Syura. Dan (dalam masalah ini) Beliau tidak pernah melakukanya, sehingga batallah anggapan keberadaan puasa itu, dikarenakan tidak ada keutamaannya. Secara ittifaq, itu bukan fardhu dan bukan pula wajib. Dan secara khusus, tidak ada dalil yang menetapkan anjuran puasa Rajab. Dengan demikian, berpuasa Rajab dengan melakukannya secara terus-menerus merupakan suatu perkara yang dibenci.
Wallahu a’lam...
Alexyusandria
Padang