REPUBLIKA.CO.ID, Dari uraian di atas, salah satu alasan Kementerian Kominfo melarang sms gratis adalah karena banyaknya sms spam. Tentu kita semua setuju jika SMS spam yang mengganggu dan bahkan bisa berkembang menjadi kejahatan cyber itu harus segera dihapuskan karena merugikan banyak pihak. Tetapi kalau memutus rantai spamming ini dengan cara melarang SMS gratis itu kurang bijak, sebab kejahatan spam adalah kejahatan yang kreatif dan harus dilawan dengan edukasi yang benar dan terpadu kepada masyarakat, berikut ini ada beberapa solusi mengatasi SMS spam;
(1) Pihak operator harus membuat software untuk memfilter SMS spam, atau pemerintah mengeluarkan regulasi yang menguntungkan konsumen dalam rangka meminimalisir spam,
(2) Untuk mencegah SMS spam tak ada cara lain selain terus mengedukasi masyarakat melalui berbagai channel, seperti media massa, seminar-seminar, buku, ataupun cara kreatif lainnya, dan
(3) Pemerintah harus lebih peka dan responsif terhadap beragam jenis dan modus kejahatan SMS spam yang ada di masyarakat
Salah satu harapan diterapkannya kebijakan SMS interkoneksi berbasis biaya adalah untuk menekan jumlah SMS yang berasal dari gencarnya promosi SMS gratis lintas operator. Namun tidak semuanya berpendapat demikian. SMS spam tetap akan ada, sebelum pemerintah bersungguh-sungguh menerapkan kebijakan validasi nomor telekomunikasi prabayar. Menurut salah seorang praktisi telematika, Sutikno Teguh, kalau interkoneksi SMS dimaksudkan akan membendung spam SMS, itu salah besar, karena oknum penipu maupun pengiklan akan terus mengganggu ketenangan konsumen sepanjang tidak aturan yang tegas akan spam SMS maupun validasi pelanggan pada penjualan nomor kartu perdana prabayar. Dalam hal ini Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) wajib memonitor masalah validasi nomor prabayar. Saat ini masih amburadul dan sering disalahgunakan. Upaya pemerintah dalam menerapkan validasi prabayar memang sudah seringkali dipertanyakan.
Karena faktanya di lapangan, banyak pelanggan yang masih belum bersedia mendaftarkan diri secara sukarela ke nomor registrasi 4444 saat melakukan pembelian kartu perdana. Kondisi ini berbeda di negara lain, seperti di Singapura misalnya. Pelanggan yang membeli kartu prabayar diwajibkan untuk mengisi data diri dengan kartu identitas asli maupun dengan paspor bagi pengunjung dari luar negeri. Di Indonesia sayangnya tidak dipaksakan seperti itu. Pelanggan masih bisa mengisi data pribadi asal-asalan. Pakai nama palsu dan nomor identitas sembarangan sesukanya. Apa ini yang dibilang valid? Sementara nomor prabayar yang tersebar sudah lebih dari 200 juta. Berapa yang benar-benar valid?
Sebagian besar masyarakat pengguna layanan seluler pasti berharap apapun kebijakan yang diputuskan pemerintah, harus menguntungkan masyarakat baik dari segi pelayanan maupun biaya. Jangan sampai dengan adanya kebijakan baru, malah makin merugikan masyarakat. Semoga dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah ini kita semua bisa menerima manfaat positif lebih banyak dan kita tunggu saja bagaimana pelaksanaan dari kebijakan dihilangkannya sms gratis ini.
oleh: Mohammad Aryananda
Mahasiswa Institut Manajemen Telkom, Bandung