Sudah pernah dengar kiprah Jaringan Islam Liberal (JIL), kan? Ya, gerakan yang sering mengatasnamakan kebebasan dalam segala hal ini memang cukup menarik perhatian publik.
Amat sering mereka melontarkan pendapat-pendapat baru yang keluar dari mainstream ajaran telah menjadi ijma’ di kalangan kaum Muslimin. Logika dan rasionalitas biasa mereka jadikan senjata andalan saat mengeluarkan “fatwa baru”.
Padahal, kita tentu menyadari bahwa tak semua hal bisa masuk logika kita. Tak ayal, beberapa ulama atau ustadz yang awam akan logika, filsafat, atau sejenisnya menjadi “galau” dibuatnya. Apalagi, santri-santri yang tentu masih perlu lebih banyak belajar, seringkali silau dengan pemikiran hasil “ijtihad” JIL dan kroni-kroninya. Jadi, jangan remehkan dampak dahsyat produk-produk mereka, kawan-kawan!
Hal itu menjadi salah satu penyebab tidak banyak kaum muda yang mau peduli terhadap gerakan kontra JIL. Demikian yang dulu pernah disampaikan para peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dalam berbagai kesempatan.
Tapi, minimnya animo pemuda tersebut sepertinya akan segera berbalik. Mungkin ia telah sampai pada titik terendah. Kini, animo itu justru nampak perlahan naik. Munculnya gerakan # Indonesia Tanpa JIL (ITJ) adalah bukti nyatanya.
Upaya membendung pemikiran SEPILIS (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) sekarang bukan lagi jadi proyek para cendekiawan Muslim yang hanif (lurus). Kaum muda di berbagai daerah pun sudah mulai ikut serta.
Saya merasakan betul, spirit perlawanan para aktivis ITJ ini saat kemarin (21/10) bertemu langsung dengan mereka. Dalam event # ARISAN (Ahad, Mari Belajar Islam dan Pemikiran) di sekretariat ITJ, Jl. Utan Kayu No. 68B Jakarta Timur tersebut, saya beserta beberapa rekan dari KAMMI Madani memang sengaja hadir. Selain untuk menimba ilmu langsung dari Ust. Adnin Armas, M. A. (Direktur Eksekutif INSISTS), agenda silaturrahim dan menambah link menjadi misi kami. Alhamdulillah, misi-misi tersebut tercapai dengan sukses.
Kembali ke pokok bahasan, kita patut bersenang hati melihat geliat gerakan anti JIL sudah mulai digandrungi para pemuda. Jangan bayangkan bahwa para aktivis ITJ itu ialah mereka semua yang berjenggot serta berkerudung dan berjilbab lebar. Beberapa sosok yang sempat tertangkap mata saya justru tak sedikit yang tidak masuk kriteria itu.
Artinya, gerakan anti JIL ternyata sudah bukan lagi milik para aktivis pergerakan Islam saja. Mereka yang bercelana jeans, berkumis, bahkan yang masih senang merokok pun ikut dalam ITJ. Mengapa demikian? Menurut saya, amat tepat apa yang Ust. Adnin sampaikan kemarin. Ustadz yang dikenal ahli filsafat serta menguasai Bahasa Inggris dan Latin ini kurang lebih berujar seperti ini:
“Sebenarnya setiap pribadi Muslim yang jujur dalam memahami Islam secara umum saja, tahu bahwa apa yang dilakukan oleh JIL itu tidak benar. Jadi, tidak perlu pintar-pintar amat untuk menentukan sikap terhadap kerancuan berpikir ala JIL. Bukankah keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir sudah final? Bukankah telah jelas bahwa Alquran itu dijamin oleh Allah tentang kesuciannya dan terhindar dari penyimpangan? Siapa pun, asalkan masih berpikir secara objektif pasti tidak setuju kalau ada yang mencoba mengktritisi hal yang sudah pasti kebenarannya itu.”
Maka, menjadi hal yang menarik melihat pergulatan pemikiran ini sudah tak lagi menjadi arena para “sesepuh”. Biarlah mereka dari kalangan JIL banyak merekrut sarjana bahkan doktor bertitel yang sudah tak beres lagi pemikirannya.
Maka, di sini kaum muda Muslim sudah mulai merapat dengan para intelektual Muslim yang insyaAllah masih hanif. Akan tetapi, tentu upaya meng-upgrade kapasitas dan kualitas keilmuan tetap akan menjadi salah satu agenda kami. Jika saat ini sudah mulai tumbuh tunas muda anti JIL, maka tidakkah kamu malu jika hanya berdiam diri?
RM, 23 Oktober 2012
Nur Afilin
Mahasiswa