REPUBLIKA.CO.ID, Pelaksanaan ujian nasional (UN) 2013 untuk para siswa tunanetra akan dimudahkan dengan adanya soal UN berhuruf braille. Jika tahun lalu para siswa tunanetra harus didampingi oleh
pengawas dalam membaca soal UN, tahun ini mereka bisa mengerjakan soal UN dengan lebih mudah karena dapat membaca soalnya sendiri.
Namun, soal dengan huruf braille ini baru diberikan untuk siswa SMA/SMK/MA dan SMP/MTs, sedangkan para siswa SD yang tunanetra belum dapat menikmati fasilitas ini. Padahal jika kita menilik UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maka kita akan dapati pasal yang menegaskan tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan tanpa diskriminasi, yaitu pasal 4 ayat 1 dan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan tanpa diskriminasi, yaitu pasal 11 ayat 2.
Jika kita kembali melihat pada peristiwa di atas, mungkin kita akan mempertanyakan kembali tentang implementasi 2 pasal di atas. Adanya soal dengan huruf braille untuk para siswa tunanetra memang suatu langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah sejak dulu, namun ternyata baru dilaksanakan pada UN tahun 2013.
Ini menunjukkan bahwa pemerintah kurang serius dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi para siswa berkebutuhan khusus, khususnya tunanetra. Apalagi ditambah dengan layanan soal denga huruf braille ini belum dapat dinikmati oleh para siswa tuna netra di sekolah dasar, di sini semakin terlihat bahwa ada semacam diskriminasi dari pemerintah bagi siswa sekolah dasar.
Layanan soal khusus ternyata juga belum diberikan kepada para siswa dengan tingkat penglihatan rendah (low vision), padahal mereka juga membutuhka soal khusus dengan huruf yang lebih besar. Hal ini semakin mempertegas bahwa memang ada ketidak seriusan dari pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi semua kalangan dan adanya diskriminasi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Memang pada tahun-tahun sebelumnya telah ada pendampingan dari pengawas bagi para siswa tunanetra dan low vision untuk membacakan soal. Tetapi, layanan ini belumlah cukup untuk membuat para siswa tersebut nyaman dalam mengerjakan soal ujian, karena para siswa akan lebih dapat memahami dan mengingat soal ujian itu jika mereka membaca sendiri soalnya.
Jika soal itu dibacakan oleh orang lain lalu siswa mendengarkan, maka siswa tersebut akan mudah lupa terhadap soal dan akibatnya siswa kurang dapat memahami soal yang ditanyakan. Jika siswa bertanya kembali pada sang pengawas yang membacakan soal, maka itu akan menghabiskan banyak waktu. Ada kalanya juga siswa takut menanyakan kembali soal yang telah dibacakan, karena ada sedikit tekanan mental yang dihadapinya saat ada pengawas di dekatnya. Akibatnya siswa jadi asal menjawab soal tanpa memahami soalnya secara utuh.
Itulah yang harus menjadi perhatian Kemendikbud untuk mewujudkan pendidikan yang tidak diskriminatif. Para siswa tunanetra dan low vision itu juga berhak mendapatkan pendidikan layaknya anak-anak normal lainnya. Mungkin mereka memang mempunyai kelemahab dari sisi fisik, tapi dari sisi kecerdasan mereka tetap sama seperti anak-anak lainnya. Maka dari itu, Kemendikbud harus secara sarius membenahi pelayanan pendidikan bagi para siswa tunanetra dan low vision.
Dalam hal ujian nasional, Kemendikbud harus menyediakan soal khusus dan lembar jawab khusus bagi seluruh siswa tunanetra dan low vision tersebut tenpa terkecuali, dari jenjang SD sampai SMA. Mereka berhak membaca dan mengerjakan soal mereka sendiri seperti para siswa lain, karena hal itu lebih nyaman bagi mereka. Selain itu, mereka juga membutuhkan tambahan waktu khusus dalam mengerjakan soal karena kemampuan baca mereka tidak seperti anak-anak normal lainnya.
Hal tersebut juga harus menjadi perhatian Kemendikbud dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Para siswa tunanetra dan low vision jangan hanya diberi pendamping untuk membacakan soal, tapi mereka harus diberi soal khusus, lembar jawab khusus, dan tambahan waktu khusus. Dari pihak perguruan tinggi pun juga harus memperhatikan hal ini dalam seleksi mandiri yang mereka lakukan. Pihak perguruan tinggi harus menyediakan layanan difabel bagi para siswa berkebutuhan khusus tersebut.
Jika semua pihak dan lembaga penyelenggara pendidikan memperhatikan kebutuhan para siswa berkebutuhan khusus, khususnya tunanetra dan low vision dengan serius, mak pendidikan berkualitas akan dapat dinikmati oleh seluruh warga Indonesia, karena para siswa berkebutuhan khusus tersebut juga merupakan anak-anak bangsa yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa ini di masa depan.
Penulis: Achmad Zamroni
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam (Semester IV)
Fakultas Agama Islam-Universitas Muhammadiyah Yogyakarta