REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Saleh Partaonan Daulay*
Partai-partai politik di Indonesia dapat diidentifikasi melalui ideologi yang menjadi modus eksistensinya. Ada dua ideologi yang secara umum selalu dipakai yaitu; nasionalisme dan Islam. Melalui ideologi itu, partai-partai politik mendasarkan garis perjuangannya.
Partai nasionalis mengklaim bahwa orientasi perjuangannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia tanpa memandang perbedaan letak geografis dan demografis yang ada. Orientasi seperti itu sesungguhnya juga diklaim oleh partai-partai Islam. Bedanya, partai-partai Islam meyakini bahwa tujuan dan orientasi itu hanya bisa dicapai melalui pembumian ajaran-ajaran universal Islam di dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana mengukur keislaman partai-partai Islam? Apakah keislaman itu sudah cukup dituliskan dalam asas partai? Mengapa partai Islam tidak cukup satu saja? Adakah perbedaan pemahaman tentang politik islami dari parta-partai itu?
Performa yang Sama
Pertanyaan-pertanyaan kritis itu sangat penting diungkapkan. Apalagi, akhir-akhir ini, banyak orang yang berkesimpulan bahwa partai Islam tidak berbeda dengan partai non-islam. Kebijakan partai, perilaku politisinya, dan juga cara-cara mempertahankan kekuasaan yang dimiliki kelihatannya memang sama dengan partai non-Islam.
Ada banyak indikasi mengapa sebagian kalangan sampai pada kesimpulan itu. Persoalan korupsi, misalnya, ternyata tidak hanya ditemukan di partai-partai non-Islam. Korupsi ditemukan di hampir semua partai. Modusnya juga hampir sama. Kolaborasi antara eksekutif, legislatif, dan pengusaha. Eksekutif mengajukan anggaran, legislatif memperjuangkan di parlemen, dan pengusaha mengerjakan proyeknya.
Partai yang memiliki kekuasaan di pemerintahan tentu lebih memiliki keleluasaan. Banyak program pemerintah yang bisa dikerjasamakan dengan para pengusaha. Selain untuk memenangkan tender proyek pemerintah, pengusaha juga bisa memesan program, specs, dan juga kuota.
Selain bermain dalam proyek pemerintah, partai Islam dan non-Islam juga bermain di hampir setiap pilkada. Konon, untuk mendapatkan perahu, para kandidat kepala daerah harus membayar 'mahar' yang tidak sedikit. Katanya, 'mahar' diperlukan untuk biaya sosialisasi dan pemenangan.
Karena uang yang digunakan bukan dari kas negara, tentu aparat penegak hukum tidak bisa mengaudit penggunaan 'mahar' itu. Walau tidak semua partai mensyaratkan 'mahar', tetapi persoalan ini sudah jamak diketahui masyarakat.
Realitas seperti ini tentu tidak bisa digeneralisasi. Harus diakui secara jujur bahwa masih banyak politisi yang memiliki idealisme. Masalahnya adalah kalau perilaku buruk tersebut juga dilakukan oleh sebagian politisi yang berasal dari partai Islam. Lalu, apalagi ciri pembeda antara partai Islam dan non-Islam?
Risiko Berlabel Islam
Niat baik tokoh-tokoh Islam mendirikan partai Islam perlu diapresiasi. Selain untuk memperjuangkan kepentingan bangsa, nilai-nilai luhur ajaran Islam memang perlu dibumikan melalui jalur politik. Tetapi, mendirikan partai berlabel Islam tidak berarti tidak beresiko. Membawa nama Islam ke ranah politik sama artinya membawa kemuliaan ajaran Islam ke dunia yang penuh pragmatisme temporal.
Para pendiri partai Islam tentu berharap agar para politisi di partai-partai Islam dapat menjalankan agenda dakwah dalam memperjuangkan kepentingan Islam. Namun di tengah perjalanannya, kompetisi politik yang sangat ketat bisa jadi mengubah arah dan orientasi. Apalagi, para kader partai diminta untuk selalu berjuang membesarkan partainya. Lazimnya, partai politik tidak bisa hanya dibesarkan dengan slogan, ceramah, dan pengajian. Ada banyak kebutuhan yang mengharuskan partai memiliki dana pendukung.
Tuntutan dan kebutuhan partai inilah salah satu yang mendorong adanya penyalahgunaan kewenangan. Semakin besar kekuasaan yang diperoleh, semakin besar pula peluang untuk melakukan tindakan koruptif dan manipulatif. Di tambah lagi banyaknya godaan dari pihak-pihak luar dengan janji menarik dan mempesona. Tidak mengherankan bila banyak politisi yang melakukan perbuatan korupsi karena bujuk rayu pengusaha-pengusaha hitam.
Selain itu, penggunaan label Islam juga dapat diartikan sebagai klaim parsial. Dari sisi bahasa, dengan mengklaim sebagai partai Islam, pada saat yang sama juga mengatakan bahwa partai lain tidak Islam. Padahal, di partai-partai yang tidak Islam juga banyak aktivis Muslim yang berpolitik. Tidak ada seorang pun yang bisa mengukur bahwa keislaman mereka yang ada di partai Islam lebih baik dari mereka yang ada di partai non-Islam.
Walau sedikit kurang tepat, tentu tetap beralasan bila ada yang berpandangan bahwa partai Islam hanya memakai simbol-simbol Islam untuk mendapatkan simpati dan dukungan umat Islam. Apalagi dalam praktiknya, ada partai Islam yang cenderung sangat eksklusif. Perjuangan partai lebih memprioritaskan kepentingan anggota dan jamaah pendukungnya.
Buktinya, komponen umat Islam banyak yang tidak tahu agenda politik yang sedang mereka perjuangkan. Penyusunan dan perumusan RUU saja, misalnya, hanya dibicarakan di tingkat internal partai. Padahal, RUU adalah grand design masa depan umat dan bangsa Indonesia.
Karena tidak dilibatkan secara aktif dalam proses politik lahirnya UU, komponen umat Islam banyak yang melakukan perlawanan melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Judicial review adalah bukti nyata dimana umat diabaikan, dipinggirkan dan bahkan ditinggalkan. Tidak ada keselarasan antara aspirasi umat dengan produk politik yang dihasilkan.
Perlu Konsistensi
Karena tidak ada aturan yang melarang, partai-partai politik Islam tetap berhak untuk tumbuh dan berkembang. Yang diperlukan adalah adanya konsistensi antara ideologi partai dengan kiprah perjuangan politik. Bila ideologi yang diusung adalah Islam, maka ciri dan cara kerja partainya harus benar-benar islami.
Terlalu banyak yang dipertaruhkan dengan membawa nama Islam. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Citra partai politik Islam sebagai partai bersih, peduli, dan merakyat perlu dibumikan baik melalui kebijakan politik maupun tindakan para politisinya.
*Penulis adalah Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah