REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak*
Serangan berita korupsi, yang melibatkan para pejabat negara, bahkan, mereka yang mengidentifikasikan dirinya sebagai "Ustadz" dan selalu berkata atas nama Agama dan rakyat kecil, hadir diruang keluarga kita setiap hari.
Berita dukun, ah..tapi mereka sering sebut "guru spiritual" yang diserang oleh mantan "pasien" tepatnya menurut mereka, mantan "murid".
Kekerasan atas nama Agama, kekerasan atas nama kemiskinan, dan deretan berita-berita busuk yang merusak otak dan hati, mampir di semua ruang kehidupan kita melalui media eletronik, cetak, media sosial seperti Twitter dan Facebook.
Kehidupan kita digempur oleh deretan "kebusukan" yang tampil sebagai Selebritis, yang kemudian mereka yang selalu muncul di media-media tersebut "tiba-tiba" disebut "public figure", dan secara tidak sadar kita pun mengamini-nya.
Seolah tanpa "Harapan" begitulah negeri ini digambarkan oleh media massa dan media sosial, jelas pesimisme tersebut bukan tanpa dasar, karena memang pembuat kebijakan dan para pihak tidak mampu menunjukkan "Harapan" kepada kita. Kata dan laku mereka yang membuat pesimisme terajut kuat dibenak publik.
Politisi berlaku saling sandera, kompromi atau sikat perlahan, sebagai pembelaan, kata dizhalimi atau konspirasi jadi pamungkas mengaduk logika dan perasaan publik yang rata-rata "iliterasi politik". Jelang pemilu 2014 dinamika aduk mengaduk logika dan perasaan akan semakin "kencang".
Serangan berita "busuk" di rumah kita, mulai berita politik, dukun dan lain sebagainya, yang menggambarkan buruknya peradaban Indonesia kita, bagi mereka yang selalu berhadapan dengan pusaran dinamika sosial politik baik sebagai pelaku, maupun pengamat dalam berbagai obrolan-obrolan off the record menyatakan Negeri ini seperti hilang "Harapan",.
Mereka yang berkuasa, maupun tidak, dan berada di pusaran politik, birokrasi Negeri ini menunjukkan laku yang tidak berubah, meskipun "tatanan kata" dan sistem politik dan birokrasi berubah, tetapi prilaku dasar "korup alias maling dan pendusta ditambah munafik" tidak berubah.
Zaman telah berubah, sistem politik dan birokrasi Indonesia pun telah berubah, tetapi moral dasar tidak berubah.
"Harapan" selalu ada. Harapan itu tidak bisa kita titipkan kepada mereka para pembuat kebijakan, atau mereka para pihak yang ada dipusaran politik negeri ini, yang seharusnya mengayuh perahu negeri ini sampai pada tujuan yakni Indonesia raya, yang merdeka dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan serta teror anti kebebasan beragama.
"Harapan" itu harus kita sendiri yang merawat. merawat harapan itu kita mulai dari Rumah kita. Banyak orang-orang biasa di negeri ini tetapi melahirkan dan membesarkan anak-anak yang luar biasa bagi peradaban negeri, bahkan dunia. Sebaliknya, banyak orang-orang hebat dimata publik hanya melahirkan dan gagal membesarkan anak-anak yang luar biasa dan hebat, karena mereka tidak hadir sebagai "Ayah dan Bunda" yang penuh waktu bagi anak-anaknya.
Harapan bisa tetap kita rawat demi Indonesia, ketika kita menjaga "Rumah kita" dengan menjadi oposisi bagi tampilan kata dan laku penuh dusta yang sering mampir di media massa dan sosial media kita. Menjadi "Ayah-Bunda" yang memberikan contoh dan mengajarkan hidup penuh dengan "kejujuran" adalah cara merawat "harapan" bagi Indonesia. menjaga "Rumah Kita" dengan perabotan indah kejujuran yang lahir dari kata dan laku orang-orang yang tinggal di rumah tersebut.
Merawat harapan bagi saya pribadi pun, juga harus dilanjutkan di rumah kedua bagi saya, yakni Kampus. Menjadi Dosen yang memberikan contoh nilai-nilai kejujuran dalam setiap dimensi pendidikan di kampus sangat penting, demikian pula dengan sahabat-sahabat pendidik lainnya yang ada di sekolah-sekolah, harus menghadirkan nilai-nilai kejujuran disekolah bagi murid-murid kita.
Menengok para Guru jujur dan berdedikasi mengajarkan kejujuran meyakinkan saya bahwa harapan masih ada, dan harapan itu dirawat oleh para guru-guru jujur yang selalu mengajarkan nilai-nilai kejujuran dalam setiap pengajarannya.
Membenci dan mengutuk menyontek adalah langkah saya merawat kejujuran bagi mahasiswa saya, tidak ada maaf bagi mahasiswa yang menyontek di mata kuliah saya, karena prilaku menyontek menjadi akar prilaku mencuri dan menipu dikemudian hari demi mencapai tujuan yang pragmatis dan mengabaikan proses dan etika, yang melahirkan anak-anak bangsa koruptif dimasa yang akan datang, bertindak sederhana dan kecil penting kita lakukan saat ini, untuk tetap merawat harapan, untuk tetap melangkah menuju masa depan Indonesia yang lebih baik, dan tindakan kecil yang ingin saja ajak apapun profesi kita adalah menghadirkan dan merawat nilai-nilai kejujuran dari “Rumah kita”, sehingga harapan selalu ada bagi Indonesia raya.
*Pengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) Banten