REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rustika Herlambang/ Direktur Komunikasi Indonesia Indicator
Sepanjang enam bulan terakhir, sebanyak delapan lembaga survei merilis hasil temuan mengenai calon paling popular menjadi presiden saat ini. Temuan itu seolah bermuara pada satu nama: Jokowi. Andai dilakukan pilihan presiden saat ini, maka ia akan menang.
Begitu kira-kira inti dari hasil survei. Pandangan ini tentunya tak berlebihan apabila pilihan presiden itu akan diselenggarakan sekarang. Sayangnya, masih ada waktu sekitar 9 bulan ke depan. Itu bukan waktu yang singkat. Dalam perjalanan, segalanya bisa saja terjadi.
Tulisan ini akan mengurai fenomena Jokowi dalam sudut pandang media. Seluruh data diambil dari mesin pengumpul Indonesia Indicator. Monitoring media dilakukan secara real time, 24 x 7 x 365, dengan cakupan 337 media online nasional dan daerah dalam waktu 19 bulan (Januari 2012-Juli 2013), dengan total lebih dari 2,6 juta pemberitaan. Metode pengumpulan dilakukan oleh perangkat lunak crawler (robot) secara otomatis dengan analisis berbasis AI, semantik, serta text mining.
Kegemilangan Jokowi tak bisa dilepaskan dari pengaruh media. Media-lah yang memberitakan segala hal tentangnya. Media-lah yang “mengarahkan” opini publik pada Jokowi yang seolah menjadi antitesa pemimpin yang ada saat ini. Kebetulan Jokowi memiliki karakter yang menarik yang pantas, punya news value, dan selalu membawa kebaruan cerita yang dibawanya. Bukan hal basi. Bukan tentang basa-basi. Spontan.
Bicara tentang fenomena Jokowi sebenarnya sudah bisa diprediksikan sejak pertengahan tahun lalu. Kemunculan awalnya melalui program mobil Esemka telah melambungkan namanya dari tokoh lokal, walikota Solo, menjadi tokoh nasional. Ia pandai membungkus peristiwa itu dalam sebuah waktu yang tepat, 2 Januari 2012, 2-1-12. Tentunya sebelum itu, ia sudah mencuri perhatian dengan berbagai upaya pembenahan kota Solo meski belum menjadi isu nasional.
Entah apa yang dilakukan ini sebuah pencitraan atau tidak namun yang jelas Jokowi mulai melenggang melalui program mobil Esemka. Meski project ini dibiayai oleh menteri Pendidikan M Nuh, toh nama yang muncul adalah nama Jokowi.
Keberpihakan Jokowi pada produk nasional (yang digarap oleh siswa SMK) di tengah serbuan industri otomotif global dan asing membuat publik terpikat padanya. Ini adalah sebuah sikap dan sikap itu memiliki unsur keberanian. Apa yang dilakukan Jokowi lantas mendapat sambutan masyarakat – setidaknya terpotret melalui berbagai pemberitaan.
Kesuksesan membuat kebaruan ini membuat banyak tokoh nasional lantas ikut melirik mobil Esemka, entah sebagai kepedulian atau hanya sekadar mencari popularitas. Pada bulan Januari 2012, topik pembicaraan mobil Esemka dan Jokowi mencapai 700 pemberitaan dan meninggalkan serpihan-serpihan cerita Esemka pada bulan-bulan berikutnya, yakni maksimal 100 berita per bulan hingga bulan September 2012. Namun demikian, popularitas Jokowi terus melambung, meninggalkan “mobil” Esemka-nya. Hingga kini terdapat 56473 pemberitaan mengenai Jokowi sepanjang satu tahun terakhir, namun demikian, hanya 990 berita tentang Esemka.
Bersamaan dengan itu perjalanan pemberitaan Jokowi terus melaju saat mencalonkan diri dan akhirnya terpilih menjadi Gubernur DKI. Ada lompatan jumlah yang dilampaui Jokowi dari pemberitaan lokal sekitar 500 perbulan pada bulan Maret dan menjadi 1000 pada bulan Mei Juni 2012, melompat hingga 3000 berita pada bulan Juli Agustus 2012 dan mencapai puncaknya pada bulan September dengan 6.526 pemberitaan tentang Jokowi!
Ini artinya, sehari ada sekitar 217 pemberitaan! Pada saat inilah pemberitaan Jokowi mengalahkan Presiden SBY yang berjumlah 4.094, sebuah kejadian yang relative langka. Jumlah pemberitaan Jokowi pun konsisten sejak itu. Ia selalu menempati urutan pemberitaan terbanyak di Indonesia setelah Presiden SBY, dengan rata-rata terpaut 50% pemberitaan. Posisi kedua ini pernah ditempati dahlan Iskan pada November 2012.
Popularitas Jokowi terus melambung melampaui tokoh nasional dan kandidat calon presiden, seperti Hatta Rajasa, Dahlan Iskan, Aburizal Bakrie, Megawati, dan Prabowo. Hingga kini belum ada sejarahnya seorang gubernur yang pemberitaannya melampaui pemberitaan Jokowi. Sebagai contoh, Gubernur Jawa Timur Soekarwo atau Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan sekitar 500 pemberitaan/bulan. Padahal popularitas di media itu semakin mendekatkan Jokowi pada publik. Sepanjang Juli-Desember 2012, pemberitaan Jokowi menempati hampir 4 kali lipat jumlah pemberitaan dibanding Hatta Rajasa (ia hampir selalu menempati di bawah Jokowi), Aburizal Bakrie, Prabowo, maupun Megawati.
Jokowi memang seperti bintang baru di jagad politik Indonesia. Media begitu senang memberitakan apa pun yang dilakukan gubernur DKI baru itu. Bahkan untuk hal sepele sekalipun. Setiap kali ada berita Jokowi seolah magnet, dan masyarakat menikmatinya. Yang menarik, pemberitaan Jokowi justru berasal dari Kompas.com, yang dalam setahun memberitakan hingga mencapai 4000 berita, dan ini artinya 9 berita per hari tentang Jokowi. Uniknya, tak ada nama lain yang begitu banyak disebut sebanyak ini oleh Kompas.com, kecuali tentu saja Presiden SBY. Sebegitu luar biasakah Jokowi sehingga setiap hal tentangnya adalah sebuah pemberitaan yang seksi?
Apa yang membuat Jokowi tetap begitu banyak dibicarakan banyak media? Segalanya. Mulai dari perilaku Jokowi, program kerja Jokowi, hingga percaturan calon presiden, di mana setiap bulan, isu itu terus berubah dan berkembang sehingga menyebabkan pemberitaan mengenainya tak pernah basi. Spontanitas Jokowi sepertinya menjadi perhatian public. Bahasanya yang bukan dari bahasa formal dan kaku, menjadi salah satu daya tariknya. Lihat saja bagaimana ia menggaet perhatian dengan kata-katanya,’ Enggak mikir. Enggak mikir. Enggak mikir.” Spontan dan membumi.
Apa saja yang dibicarakan pada Jokowi? Apakah popularitas itu karena aktivitas Jokowi seperti Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, Normalisasi Pluit, Trans Jakarta, Monorel, masalah Pedagang Kaki Lima? Dalam clustering issue yang dilakukan oleh mesin Indonesia Indicator, media terus memberitakan berbagai program kerja Jokowi yang setiap bulan, dan senantiasa ada penekanan yang berbeda dari bulan ke bulan. Misalnya, Kartu Jakarta Sehat mencapai pembicaraan tertinggi pada bulan maret (1200 berita) dan menurun signifikan pada bulan Juni dan Juli (200 berita/ bulan). Kepeduliannya pada Trans Jakarta hampir rata-rata dibicarakan tiap bulan antara 200-400 pemberitaan. Namun dalam sebulah terakhir, isu yang beredar di Jokowi adalah mengenai survei popularitas.
Sementara isu terbesar dalam setahun terakhir melingkupi pernyataan Mega yang menyebutkan Jokowi kurus, pelantikan walikota di tempat kumuh, langkah kongkrit Jokowi dalam menangani banjir, serta isu capres 2014 menempati perhatian publik. Sepertinya isu ini akan terus bergulir. Apakah karakter Jokowi yang membumi dan spontan, dianggap bergerak cepat, dianggap menjadi sosok yang dibutuhkan saat ini sehingga media terus memberitakannya?
Pun pada media social, yang banyak didominasi anak muda, Jokowi juga menampakkan dayanya. Dengan jumlah follower 638.940, dan tidak mem-follow siapapun, Jokowi seperti menjadi tempat untuk bicara. Mention yang ditujukan padanya mulai dari 12.888 hingga 83.945 per bulan. Sentimen yang dipotret oleh Indonesia Indicator menunjukkan resume yang netral dan positif. Sentimen negative hanya menunjukkan angka 9%. Sementara dibanding dengan ratusan ribu mention yang ditujukan padanya Jokowi hanya menulis 854 tweet.
Kembali ke kisah kegemilangan, ada hal yang perlu diingatkan. Cerita kegemilangan ini terjadi di sepanjang 2012, namun menurun signifikan di tahun 2013. Secara jumlah, pemberitaan Jokowi menurun hampir separuhnya. Apabila di tahun 2012 pemberitaan Jokowi, terutama pada bulan Juli – Desember 2012 antara 4300-7000 rata-rata tiap bulannya, maka pada Januari - Juli 2013 berkisar 2000-4935. Penurunan ini jumlahnya hampir separuh dari tahun lalu. Apakah secara teknis hanya untuk menutup gap pemberitaan, euphoria itu kini sudah kembali normal, atau, sebuah kesengajaan?
Dari pengalaman Indonesia Indicator dalam menganalisa 8 pilkada di Indonesia, popularitas di media berkorelasi positif terhadap aksetabilitas. Dari pengalaman tim Obama dalam pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa untuk meraih kemenangan Obama harus memiliki jumlah popularitas di media dan media social sebanyak empat kali lipat dibanding dengan kandidat lainnya.
Apabila Jokowi masih bisa menaikkan popularitasnya empat kali lipat dibanding kandidat lain – seperti yang terjadi di Juli-Agustus 2012 - hingga 9 bulan ke depan, tentu jalan itu membentang. Tapi, 9 bulan juga waktu yang panjang. Hanya publik yang bisa menentukan. Akankah Jokowi yang kita inginkan?