REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Widdi Aswindi
Menunggu sahabat di ruang tamu hotelnya, membawa inspirasi tersendiri. Membaca banyak berita tentang kiprah-kiprah pemimpin sekarang. Mulai dari yang ada di pusat, provinsi sampai kabupaten kota, kulahap semua informasi berita yang tersaji.
Hampir semua berita yang bagusnya seragam, yakni blusuk-blusuk, sidak, janji percepatan, atau membuka keburukan yang lalu atau yang bukan urusannya. Hanya saja ketika di zoom lebih dekat tentang pencapaian nyatanya, semua menjadi kabur.
Kotanya masih macet dan infrastruktur jauh panggang dari api. Macet dan angkot masih belum teratasi. Propinsinya rendah belanja dan rakyat miskinnya banyak. Kalau nasional kita semua mungkin mafhum dan maklum.
Silahkan saja para pemimpin kita bercitra di media dengan berbagai gaya yang 'terlihat' merakyat. Tetapi sejatinya merakyat itu bukan hanya dari tampilan dan janji-janji suci di media agar terbaca oleh 'mungkin saja' bukan rakyatnya.
Merakyatnya seorang pemimpin adl ketika kebijakan dan putusannya berpijak pada rakyat dan mengupayakannya dengan kekuatan yang 'luar biasa' agar bisa berjalan. Bupati, walikota dan gubernur, tak perlu terlalu banyak masuk tv dan Koran nasional.
Tapi cobalah untuk masuk ke dalam relung hati dan harapan rakyatnya. Lukislah di atas kanvas wilayahnya masing-masing. Sebuah lukisan indah yang bisa menjadi warisan dan citra dirinya kelak, dari beragam dan berjuta-juta cat yang mewakili aspirasi rakyatnya.
Kalau soekarno, meninggalkan lukisan 'terbentuknya Indonesia' maka apa yang akan ditinggalkan dari para pemimpin sekarang ini? Lukisan apa yang hendak kau buat dan wariskan.
Mudah-mudahan bukanlah lukisan berjudu,''Pedih kota sejuta angkot' atau 'Mati dalam macet di Ibukota' atau 'Kecekik harga tinggi' atau yang lebih menyedihkan : 'Aku Malu Jadi Indonesia'.
Mudah-mudahan lukisan sarkas itu tidak terjadi. Mari saling mengingatkan dan bekerja sama.