REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Alfian Helmi (Alumnus Fakultas Ekologi Manusia IPB)
Tepat pada tanggal 22 April 2015, masyarakat internasional memperingati hari ini sebagai Hari Bumi. Momentum ini sangat penting untuk menengok kembali praktik-praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (SDA), khususnya yang terjadi di Indonesia belakangan ini.
Sebutlah kasus yang baru-baru ini menimpa Nenek Asyani, seorang nenek berusia 63 tahun yang dituduh mencuri kayu di Situbondo yang dituntut hukuman satu tahun penjara, masa percobaan 18 bulan penjara dan denda Rp 500 juta, yang hingga kini kasusnya masih dalam proses persidangan.
Serta kasus Kakek Harso Taruno (67 tahun) warga Pedukuhan Bulurejo, Kepek, Saptosari, yang menjadi terdakwa kasus perusakan hutan BKSDA Paliyan, yang dituntut 2 bulan penjara dan denda Rp 400 ribu subsider 1 bulan penjara, dan sempat mengecap sel bui selama 1 bulan sebelum akhirnya dibebaskan. Sedangkan di sisi lain, pencuri ikan seperti pemilik Kapal MV Hai Fa, kapal berkapasitas 4.306 gross tonage (GT) yang melakukan tindakan pencurian ikan (illegal fishing) dan diduga merugikan negara sebesar Rp 70 miliar, hanya dituntut denda Rp 200 juta.
Rentetan kasus tersebut tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan dan mengusik rasa keadilan kita sebagai warga bangsa. Sudah adilkah negara dalam mendistribusikan kekayaan sumberdaya alam ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Karena sesuai mandat UUD Pasal 33 ayat (3), pengelolaan SDA harus memberikan manfaat bagi rakyat, secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Paradoks Pengelolaan SDA
Jika dilihat dari sudut pandang ekologi politik, pengelolaan SDA di Indonesia saat ini bersifat mendua. Pertama, pengelolaan SDA lebih menitikberatkan asas ekonomi dimana eksploitasi SDA sebagai sumber devisa namun tidak secara cermat memperhitungkan dampak sosial dan biaya-biaya lingkungan yang timbul dari kebijakan ini. Akibatnya, terlihat indikasi telah terlampauinya daya dukung lingkungan (carrying capacity), seperti deforestasi, degradasi lahan, pencemaran, dan tangkap lebih (overfishing).
Sebagaimana dikemukakan oleh FAO dalam State of the World’s Forests (2011), Indonesia dengan luasan hutan tropis terbesar ketiga di dunia namun juga menempati urutan kedua dalam laju deforestasi di dunia (498.000 ha hutan/tahun). Ironisnya, yang dituduh sebagai biang keladi penyebab kerusakan selalu masyarakat kecil, atau orang miskin yang berada di sekitar kawasan hutan. Sebegitu parahkah orang miskin sehingga setiap kerusakan lingkungan yang lalu menimbulkan bencana mereka selalu dituduh jadi penyebabnya?
Padahal jika kita tanyakan lebih dalam, siapakah yang membuka usaha skala besar di kawasan hutan? Siapa pemilik-pemilik perkebunan sawit dan pertambangan-pertambangan yang membuka lahan usaha di kawasan hutan? Dengan mudah kita jawab, pasti hanya orang kaya yang dapat melakukan ini. Sehingga para ahli ekologi-politik, seperti Forsyth (2003) dalam bukunya Critical Political Ecology, justru berbalik mengonstruksi pemikiran baru bahwa orang kaya menggunakan sumber daya jauh lebih banyak dan karenanya memiliki dampak terhadap lingkungan lebih besar.
Kedua, ditengah-tengah implementasi kebijakan yang eksploitatif tersebut, pada sisi lainnya ada kebijakan dan kejadian-kejadian yang bersifat paradoksal. Misalnya penetapan suatu kawasan menjadi Suaka Margasatwa dan Suaka Alam untuk melindungi flora dan fauna tertentu yang seharusnya mampu mempertahankan habitat tersebut, tetapi kenyaaannya jauh panggang dari api.
Bahkan ada peraturan yang kontraproduktif terhadap semangat ini. Lihatlah PP No.2 Tahun 2008, yang mengizinkan pembukaan hutan lindung untuk kegiatan tambang, energi, infrastruktur telekomunikasi, dan jalan tol. Dengan tarif yang amat murah berkisar Rp 1,2 juta sampai Rp 3 juta perhektar pertahun siapa pun boleh membuka (kalau tidak mau dikatakan merusak, membabat, dan menggundulkan) hutan lindung.
Hal ini secara jelas menggambarkan posisi Negara yang lebih berpihak pada ekspansi usaha besar ketimbang masyarakat kecil yang hidup dikawasan hutan. Padahal kantong-kantong kemiskinan di Indonesia justru terdapat di wilayah-wilayah dengan sumberdaya alam melimpah. Hal ini membuktikan bahwa pengelolaan yang semacam ini telah menimbulkan dampak tidak terwujudnya kesejahteraan rakyat, dan kerusakan SDA serta lingkungan hidup yang makin parah.
Kerusakan-kerusakan SDA ini terbukti telah mempersempit pilihan masyarakat yang hidupnya sangat tergantung pada SDA. Lihatlah kasus Suku Anak Dalam di Jambi yang mati kelaparan beberapa bulan lalu. Hal ini terjadi karena hutan, tempat mereka selama ini lahir, hidup dan mencari makan sudah semakin sempit. Sementara disisi lain, banyak kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka mendapat manfaat untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum mereka.
Tata Kelola Baru
Sederet kejadian-kejadian tersebut sejatinya berawal dari ketidakmampuan kerangka kebijakan, kerangka hukum dan kelembagaan dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan dalam pengelolaan SDA. Pendekatan yang selama ini dibawa lebih menekankan command and control, sehingga selalu menempatkan masyarakat pada posisi lemah.
Disinilah pentingnya pengelolaan kolaborasi SDA. Hal ini dikarenakan pendekatan top-down yang selama ini diterapkan terbukti gagal dalam mengelola SDA. Pendekatan ini digunakan terutama untuk sumberdaya yang sifatnya common pool resources (CPRs) atau sumberdaya bersama, seperti sungai, hutan, dan laut.
Pengelolaan kolaboratif ini memungkinkan para pihak untuk bertindak dalam suatu hubungan kemitraan (partnership) yang membagi informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungan dan mekanisme yang disetujui secara bersama (Borrini-Feyerabend, 2000). Sehingga diharapkan tercapai tata kelola mandiri (self governance) untuk menjaga dan memanfaatkan SDA secara bijak.
Paling tidak ada dua keuntungan yang akan diperoleh jika pengelolaan kolaboratif SDA ini diterapkan dalam pengelolaan SDA. Pertama, pengelolaan kolaboratif ini dapat dijadikan sebagai mekanisme resolusi konflik. Ini sangat penting sekali mengingat selama ini resolusi konflik berkaitan dengan SDA selalu berujung pada win-lose solution (menang-kalah) bukan win-win solution.
Padahal sebagaimana kita ketahui bersama, SDA selalu menyangkut wilayah hidup dimana masyarakat sangat tergantung dengannya. Resolusi konflik seperti ini memungkinkan orang per orang duduk setara dan memiliki kuasa yang sama.
Sehingga memungkinkan dicapainya kesepakatan bersama yang menguntungkan keduabelah pihak. Kedua, pengelolaan kolaboratif SDA juga mampu meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjaga dan melestarikan SDA. Hal ini dikarenakan biaya untuk melarang para pihak yang menggunakan sumberdaya terlampau besar, baik dengan cara menghambat secara fisik maupun dengan menggunakan instrumen hukum posif.
Dengan demikian Hari Bumi yang jatuh pada hari ini tidak hanya dijadikan bahan seremonial belaka, akan tetapi refleksi seluruh pemangku kepentingan agar pengelolaan sumberdaya alam kita kedepan akan semakin memperhatikan dimensi manusia yang merupakan aktor kunci bagi keberhasilan pengelolaan SDA yang adil dan lestari. Semoga!