REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Gun Gun Heryanto/Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah melewati fase enam bulan pertama pemerintahannya. Ibarat pentas drama, adegan demi adegan di awal babak berlalu tanpa kesan kuat. Padahal, dalam perspektif teori dramaturgi Erving Goffman, manajemen kesan itu menjadi hal penting guna menghadirkan kepercayaan khalayak pada plot cerita yang dibawakan.
Jokowi-JK kini menjadi aktor utama di panggung kekuasaan republik ini. Banyak mimpi, harapan, dan cita-cita yang melekat pada mandat kekuasaan yang Jokowi-JK terima saat dia dimuliakan menjadi pemimpin nasional. Terlalu prematur jika menyimpulkan pemerintahan Jokowi gagal. Namun, publik bisa memberi catatan, Jokowi-JK belum tampil optimal sebagai pemimpin sejati di tengah banyaknya tekanan para "investor" di lingkar kekuasaan.
Jika merujuk ke data hasil riset terbaru Poltracking, Ahad (19/4), tingkat kepuasan publik terhadap enam bulan pertama pemerintahan Jokowi-JK masih rendah. Secara keseluruhan, 48,5 persen menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Hanya 44 persen responden menyatakan puas. Adapun 7,5 persen lainnya mengaku tidak tahu atau tidak menjawab. Riset ini bisa menjadi peringatan dini bagi laju pemerintahan Jokowi pada kemudian hari.
Salah satu ujian terbesar dan menentukan di fase awal pemerintahan Jokowi adalah kesanggupannya menjadi presiden sungguhan! Jokowi-JK harus bersikap profesional dan proporsional di tengah banyaknya kemauan dan tekanan mitra koalisi. Di banyak praktik kekuasaan, justru saat kemenangan sudah diraihlah pertarungan sesungguhnya dimulai. Hal ini terkait penyamaan persepsi, tindakan dan kebijakan di antara kekuatan penyokong pemerintahan.
Meminjam istilah James P Carse dalam Finite and Infinite Games (1987), pemerintahan bisa dikategorikan sebagai finite game atau permainan yang memiliki awal dan akhir, khususnya tentang kekuasaan. Dalam konteks ini, kerap menjadi mekanisme pemenangan kekuasaan belaka demi kepentingan pribadi dan golongan.
Situasi ini terbiasa menghadirkan finite player, yakni para politikus yang secara optimal menyalurkan hasratnya semata-mata untuk mendapatkan keuntungan kekuasaan. Jika kesan yang menguat pada awal pemerintahan Jokowi adalah bagi-bagi kekuasaan dan abai pada urusan rakyat akan terjadi penurunan harapan yang signifikan di masyarakat.
Jokowi harus memosisikan diri secara tepat dalam mengelola komunikasi politik dengan Megawati tanpa terjebak pada stigma buruk semata-mata presiden boneka atau petugas partai. Hal ini tidak mudah bagi Jokowi karena PDIP merupakan rumah politiknya saat ini dan Megawati Soekarnoputri adalah ketua umum sekaligus veto player bagi hampir seluruh kebijakan strategis PDIP.
Relasi kuasa keduanya akan menyumbang nilai positif, sekaligus negatif. Hal positif jika Mega memberi dukungan sekaligus memastikan basis struktur partai dari pusat hingga daerah sepenuhnya mendukung kerja pemerintahan Jokowi-JK.
Syaratnya, Mega harus menjadi negarawan dengan memberi keleluasaan pada Jokowi bekerja dan mendedikasikan kekuasaannya untuk rakyat. Tetapi, posisi Mega juga akan memberi nilai negatif jika beragam pernyataan dan tindakannya hanya memosisikan Jokowi sebagai subordinat tanpa mengapresiasi simbol kenegaraan dan pemerintahan yang kini melekat pada sosok Jokowi.
Pola hubungan Mega-Jokowi ini meminjam istilah Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam tulisannya dalam Relating Dialogues and Dialectics (1996) dapat menghadirkan situasi dialektika relasional. Situasi ini dicirikan oleh ketegangan berkelanjutan antara impuls yang kontradiktif. Berbagai isu bergulir dan menjadi dinamika, sekaligus indikator mengukur performa dan daya tahan Jokowi di tengah tekanan kuasa Megawati.
Banyaknya parpol dan tersebarnya kuasa di sejumlah aktor politik menyebabkan bangunan komunikasi politik pemerintahan Jokowi dihadapkan pada jebakan model transaksional. Dalam model transaksional, Jokowi akan lebih banyak menegosiasikan ide, gagasan, pemikiran, dan tindakannya di tengah lingkungan politik yang sangat kompetitif dan penuh paradoks.
Atmosfer politik yang terbangun saat ini lebih banyak berpola asimetris, yakni tidak begitu jelas siapa kawan dan lawan. Karenanya, perlu tata kelola komunikasi politik yang lebih terencana, terutama untuk memelihara daya tahan di tengah tekanan beragam kekuatan dalam mencapai titik keseimbangan politik. Jokowi harus tampil menjadi pemimpin pengambil risiko dalam menunaikan janji politiknya kepada rakyat, bukan semata-mata mengelola zona nyaman kekuasaan elite.
Jokowi-JK harus membuktikan mereka bisa keluar dari jebakan politik enigmatik. Makna politik enigmatik adalah politik yang menimbulkan teka-teki, prasangka, absurditas, disorientasi, dan tanpa navigasi karena dinamikanya tidak jelas. Hal ini disebabkan ketiadaan aktualisasi prinsip fundamental demokrasi itu sendiri. Politik yang ditampilkan tidak substansial, tapi demokrasi dangkal.
Praktik politik enigmatik ini sangat mungkin muncul dan menguat di era Jokowi-JK jika mereka tak mampu menghadirkan optimalisasi kerja untuk masyarakat secara terukur dan dirasakan langsung manfaatnya. Dalam konteks ini, butuh komunikasi deliberatif yang memosisikan setiap kebijakan publik Jokowi-JK sebagai konsensus berbasis rasionalitas dan melalui diskursus publik yang memadai. Jangan terbuai pencitraan politik berlebihan karena hanya akan memabukkan dan membuat lupa daratan.
Sangat mungkin pemerintahan Jokowi-JK mengalami retrogresi politik, yakni penurunan kualitas politik akibat terlalu mengurusi zona nyaman kekuasaan elite. Jokowi-JK sedang memimpin negeri ini menapaki jalan terjal konsolidasi demokrasi. Karenanya, dibutuhkan daya tahan prima agar tetap melaju membawa perubahan signifikan.
Publik harus bersabar sambil mengevaluasi dan mengkritisi apakah Jokowi-JK melaju ke arah tepat atau tidak. Hakikat kekuasaan adalah amanah yang harus dituntaskan dengan kesungguhan!