Selasa 30 Jun 2015 05:49 WIB

Militer Amerika dan Hak Menjalankan Agama

Red: M Akbar
Prajurit muslim Amerika Serikat
Foto: www.youtube.com
Prajurit muslim Amerika Serikat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Shamsi Ali (Presiden Yayasan Nusantara dan Imam di kota New York, Amerika Serikat)

Negara-negara Barat, Amerika khususnya, dikenal sebagai negara yang menganut paham sekularisme. Sebuah paham yang mengharuskan pemisahan antara agama dan keyakinan dari kehidupan publik. Bahkan seringkali dituduh jika Barat adalah musuh Islam.

Sebagai seorang muslim yang hidup di tengah-tengah mereka, saya memahami jika tuduhan itu pada tingkatan tertentu ada benarnya. Teman-teman di dunia Islam seringkali menjatuhkan vonis kepada Amerika misalnya berdasarkan kebijakan luar negeriya (foreign policy) semata.

Sebagian yang lain terjangkiti penyakit "generalisasi". Kekakuan negara Prancis dalam memahami sekularisme disimpulkan sebagai "permusuhan" negara-negara Barat kepada agama ini.

Di sisi lain, saya juga perlu menegaskan pada tingkatan tertentu pula pilihan iman dan praktik keyakinan di negara-negara Barat ternyata lebih bebas ketimbang di beberapa negara Islam itu sendiri. Bahkan atas nama kebebasan itulah, misalnya, beberapa ulama yang dianggap pembangkang di dunia Islam justru mendapatkan perlindungan "suaka politik" di negara Barat.

Kebebasan memilih iman dan keyakinan serta menjalankan agama di negara Barat salah satunya dapat dilihat pada kebebasan anggota militernya dalam menjalankan agamanya. Dalam hal ini Amerika berhak mendapat pujian karena kebebasan tersebut.

Di Amerika Serikat, tentara diberikan kesempatan untuk memilih keyakinan dan menjalankan keyakinan mereka. Untuk memudahkan mereka dalam menjalan agama masing-masing, setiap kelompok agama punya hak untuk memiliki mentor keagamaan yang disebut "chaplain".

Khusus untuk mereka yang bragama Islam yang jumlahnya ribuan di militer Amerika, puluhan bahkan ratusan imam diangkat sebagai pembina kerohaniaan atau chaplain di setiap barak militer, bahkan di medan perang sekalipun.

Tentara Berhijab

Kesetaraan gender di dunia Barat menjadikan wanita ikut terlibat langsung dalam semua lini kehidupan, termasuk militer. Di Amerika, misalnya, ada ribuan tentara wanita. Di antara mereka banyak juga dari kalangan wanita muslimah, termasuk mereka yang memilih berjilbab.

Mungkin pertanyaan yang timbul di benak banyak orang, khususnya umat Islam, apakah tentara wanita Amerika diperkenankan memakai jilbab? Jawabannya jelas, mereka tidak saja diperkenankan memakai jilbab. Bahkan dijamin dan dilindungi untuk memakainya. Karena memang menjalankan agama adalah jaminan Konstitusi Amerika Serikat (Second Amendment). Sedangkan dalam kehidupan bernegara, konstitusi negara adalah raja di atas segala bentuk aturan lainnya.

Ada kekhawatiran sebagian jika jilbab diperbolehkan untuk tentara muslimah maka akan mengurangi soliditas ketentaraannya. Padahal sebaliknya yang akan terjadi. Secara fisik tidak mengurangi karena yang terjadi hanya menutup aurat secara sempurna.

Sebaliknya secara ruhiyah maknawiyah, sang tentara yang diberikan hak menjalankan agamanya secara penuh akan semakin solid. Kenapa? Karena dengan kebebasan itu mereka merasa memiliki dan komitmen pengabdian serta loyalitasnya kepada negara akan semakin solid pula.

Akhirnya, saya seringkali terheran bahkan sedih melihat kenyataan di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas muslim, justru nampak menghalang-halangi warganya menjalankan agamanya. Padahal, selain karena memang negera tersebut berpenduduk mayoritas muslim, juga konstitusi negara itu tegas memberikan jaminan kebebasan kepada setiap warganya untuk menjalankan agama dan keyakinan masing-masing.

Jadi, perlukah dunia Islam belajar tentang kebebasan beragama dari Amerika yang notabene sekuler?

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement