REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Umaimah Wahid
Dosen Komunikasi Politik Universitas Budi Luhur
Media saat ini bukan lagi kekuatan keempat dalam sistem demokrasi. Media telah menjelma sebagai kekuatan kedua setelah pemerintah, bahkan menjadi kekuatan pertama sebagai pencipta opini dan propaganda terhadap masyarakat. Di era industri, media telah menjelma juga sebagai kekuatan politik, sosial budaya, dan kekuatan ekonomi.
Media massa mempunyai kekuatan dalam menyampaikan informasi dalam waktu yang nyaris bersamaan, bahkan dalam kondisi ‘real time’. Media menjadi komunikator yang sangat digdaya dibandingkan bentuk komunikator lainnya dalam memenangkan ‘hati dan pikiran’ massa.
The power of media telah mengkonstruksi realitas baru dan tidak ada satupun kekuatan dalam sistem sosial yang mempunyai kemampuan seperti media massa. Kekuatan dan kekuasaan inilah yang menjadi fokus dalam pengelolaan media dan massa. Konten adalah ‘darah’ yang menghidupkan realitas sosial di tengah masyarakat sebagai wujud ruang masyarakat modern yang ‘terkontaminasi’ oleh kekuatan media.
Masyarakat terbelenggu dalam dinamika media yang cenderung mempunyai kepentingan dengan kekuasaan, baik kekuasaan politik, ekonomi maupun sosial budaya. Realitas itu secara signifikan berakibat pada konstruksi berpikir media. Media yang dipercaya sebagai kekuatan dalam perjuangan demokrasi dengan terciptanya public sphere, kondisi saat ini, justru yang terjadi malah sebaliknya.
Pada masa kini, kebebasan masyarakat itu justru mengarah kepada situasi yang mematikan kebebasan untuk menyatakan pendapat. Ini terlihat pada beberapa fenomena yang muncul pada masa sekarang. Pada era Joko Widodo (Jokowi), sepertinya hampir tidak ada media yang secara terbuka dan berani menunjukkan bentuk kritiknya pada penguasa.
Mulai dari pemberitaan demontrasi yang dilakukan mahasiswa hingga pemberitaan mengenai asap yang kurang menyuarakan substansi persoalan. Bahkan paling anyar, munculnya peraturan Kepolisian Republik Indonesia mengenai larangan menyuarakan hal-hal kebencian (hate speech).
Larangan tersebut pada dasarnya baik saja. Namun pada implementasinya dikhawatirkan memunculkan perilaku pemaknaan yang salah dan sangat mungkin memunculkan konflik baru di tengah masyarakat. Hal ini tentunya dapat mematikan ruang terbuka dimana suara masyarakat diperlukan untuk melakukan kritik dan analisis tajam mengenai kinerja pemerintahan yang terafiliasi dengan para pemilik modal.