REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung
Jakarta ibarat rumah yang semakin hari semakin tidak terurus. Beragam persoalan masih membayangi. Banjir, macet, pengangguran, kemiskinan, kepadatan penduduk, transportasi amburadul, ratusan busway terbengkalai, busway terbakar dan patah, angka kriminalitas tinggi, hingga segudang masalah harian yang masih belum terentaskan secara baik.
Situasi itu juga semakin diperparah dengan beragam julukan yang diberikan pada Ibu Kota Indonesia ini. Berdasarkan hasil riset The Economist Intelligence Unit yang bertajuk, "EIU Safe Cities Index 2015", Jakarta ini masuk dalam daftar kota tidak teraman di dunia.
Kemudian merujuk riset CNN Internasional, Jakarta ternyata masuk ke dalam daftar kota paling dibenci di dunia. Selanjutnya, berdasar pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jakarta termasuk salah satu dari empat kota terkumuh di kawasan Asia, selain Manila, Dakar, dan Kolkata.
Lalu, hasil survei Mercer LLC's of living, Jepang, Jakarta digolongkan ke dalam daftar kota termahal di dunia. Sungguh beragam julukan itu terasa lengkap sekali, bukan?
Jakarta paling tidak aman, paling kumuh, paling dibenci, paling mahal. Benar-benar potret sebuah rumah besar yang tanpa pemilik. Padahal, dulunya kota ini pernah meraih kota tercantik di Asia.
Bahkan, Piala Adipura yang sebelum dipimpin Jokowi selalu mampir ke Ibu Kota, kini lenyap tak pernah lagi bisa dipertahankan. Kotor dan kumuhnya Jakarta makin terlihat dalam beberapa tahun belakangan.
Parahnya lagi, serapan anggaran mencatat rekor terendah sepanjang sejarah Ibu Kota. Begitu pula akuntabilitas kinerja yang merosot ke peringkat ke-18 dengan nilai hanya 58,57 atau berpredikat CC. Lalu pertanyaannya, ke mana pemilik DKI ini?