REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ismia Unasiansari, M.Pd (Pemerhati Pendidikan dan Ibu Rumah Tangga)
Lemas, lutut saya bergetar mendengar pernyataan Ibu Menteri Kesehatan di salah satu TV swasta dua hari yang lalu. Sebanyak 10 anak terindikasi menjadi korban vaksin palsu hasil rekayasa sepasang suami istri tak berhati. Tapi lebih lemas lagi ketika saya mencoba me-recall sejarah pemberian vaksin anak saya. Jangan-jangan anak saya juga terkena vaksin palsu.
Semuanya berawal dari kunjungan saya kepada seorang dokter anak di sebuah rumah sakit yang dikelola sebuah Persero di daerah Jakarta Utara. Delapan tahun yang lalu, saat itu anak saya berusia empat bulan dan sudah saatnya imunisasi lagi.
Namun karena kondisi anak saya sedang batuk dan pilek, saya memutuskan untuk berobat sekalian berkonsultasi dahulu apakah aman baginya untuk diimunisasi sekalian. Saat itu saya didampingi suami menghadap sang dokter.
Percakapan itu pun dimulai. Sang dokter yang memang sudah tahu kondisi bayi saya sedang batuk dan pilek menegaskan bahwa imunisasi akan mengakibatkan bayi mengalami panas. Karena sedang sakit bisa jadi panasnya disertai demam.
Saya tahu, wajah saya langsung memperlihatkan rasa iba yang sangat besar pada si kecil. Anak pertama, masih bayi, orang tua mana pun tidak akan tega. Saya menjawab, bahwa ini sudah waktunya bayi saya diimunisasi lagi tapi apakah bisa diundur imunisasinya. Saya bertanya kepada dokter yang saya taksir dari penampilan usianya belum mencapai 40 tahun.
Sang dokter menjawab, kalo ibu mau anaknya tidak panas dan demam, saya ada vaksin anti panas. Saya dan suami saling bertukar pandang. Lalu suami saya angkat bicara meminta agar sang dokter bersedia menjelaskan lebih lanjut mengenai vaksin anti panas ini.
Sang dokter kemudian menjelaskan bahwa vaksin anti panas ini tidak akan membuat bayi panas atau demam. Lalu suami saya berusaha mencari tahu lebih lanjut, perbedaan antara vaksin anti panas ini dengan vaksin yang digunakan di PUSKESMAS.