REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung (Pemerhati Masalah Sosial)
Ada seorang tukang kebun diminta majikannya untuk mengambil buah yang manis. Namun, berkali-kali diambilkan, buah itu tetap terasa masam. Hal tersebut membuat majikan hampir marah. Ia bertanya,''Sudah bertahun-tahun engkau bekerja sebagai penjaga kebun, tapi kenapa masih tak bisa membedakan mana buah yang manis dan masam?''
Penjaga kebun itu menundukkan kepalanya. Lalu perlahan menjawab. ''Maaf, Tuan. Anda meminta saya untuk menjaga dan mengurus kebun. Bukan untuk mencicipi buahnya. Saya tidak pernah memakannya, tolong maafkanlah bila saya tidak tahu bedanya ciri buah yang manis atau tidak.''
Majikan terhentak. Ruang jiwanya tertohok. Bertahun-tahun, tidak satu pun buahnya diambil penjaga kebunnya. Bahkan sekadar mencicipi tidak. Ia tercengang dengan amanah penjaga kebun itu. Sang majikan akhirnya menikahkan putrinya dengan penjaga kebun tersebut. Dari pernikahan mereka, lahirlah seorang alim ulama ternama, Syeikh Abdullah bin Mubaarok at-Taabi'i, ulama zuhud.
Betapa dahsyatnya orang-orang terdahulu. Mereka sangat gemar menjaga sebuah amanah. Integritas orang yang amanah membuat tercengang siapapun. Orang amanah tidak melulu lahir dari orang pendidikan, kaya raya, bangsawan, atau srata sosial tinggi lainnya. Tetapi bisa dari mana saja. Bukan dari keturunan atau kekayaan, melainkan lahir dari perilaku: akhlak dan adab. Kita rindu tauladan dari sosok yang amanah.
Bagaimana sekarang? Ingar bingar politik makin mengemuka jelang Pilkada Jakarta. Meski dihelat tahun depan, tetapi aroma dan suasananya sudah sangat terasa. Pelbagai calon dimunculkan. Survei pesanan dimainkan.
Media massa sibuk memoles framing pujaan. Kadang, menjatuhkan rival pesanan majikan. Sejak Pilgub Jakarta 2012, pers Indonesia dirundung awan hitam. Puncaknya ketika Pilpres 2014. Imbasnya, masyarakat terpolarisasi, sampai hari ini. Mungkin, sampai nanti. Entah.
Ironinya, calon kandidat yang diusung maju di Pilgub Jakarta 2017 mendatang, didominasi dari sosok impor. Nyaris, minim calon dari putra Jakarta sendiri. Ini fakta menyedihkan, terutama bagi warga Betawi. Ibaratnya, menyerahkan rumah pada orang lain. Sedangkan tuan rumah tak dipercaya.
Betul, calon pemimpin putra daerah tidak menjamin keberhasilan. Apalagi, warga ibu kota dikecewakan pemimpin sebelumnya. Namun, ia tetap lebih baik dibanding pemimpin impor yang berkuasa saat ini, yang berkuasa karena sebuah kecelakaan sejarah dan amanah.