REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Mega Saputra, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DKI Jakarta
Indonesia bernafas dalam atmosfer politik yang mahakoruptif. Politik transaksional menjadi pundi-pundi penyelenggaraan demokrasi.
Bersama politisi korup, demokrasi hanya berhenti dan tersandera dalam lembaga formal serta tidak dapat mensponsori lahirnya revolusi tatanan pemerintahan yang berdaulat. Demokrasi yang terepresentasikan dalam sistem politik bukan menyuguhkan edukasi politik yang berorientasi pada investasi peradaban, justru terjebak dalam ritual-ritual mekanistik-transaksional.
Perbincangan soal Pancasila dan kebangsaan hanyalah lip service yang terjadi di mimbar-mimbar publik untuk meraup atensi para konstituen. Pertanyaan besar kita adalah apakah para politikus hadir untuk menyuarakan keadilan atau menimbun kekayaan? Sehingga korupsi menjadi salah satu rukun dari cara kader partai untuk merawat kekuasaanya dan menambah uang kas partainya.
Korupsi dengan berbagai bentuknya menjadi ritual wajib yang diperankan oleh para anggota dewan yang terhormat untuk memuluskan berbagai kepentingan pribadi atau kepentingan kelompoknya. Dalam hal ini Rocky Gerung menggambarkannya dalam kalimat, "kepentingan yang bertemu kebutuhan".
Realitas ini menggiring kita pada kesimpulan bahwa politikus lebih memilih untuk memerdekakan diri dan partainya ketimbang mensponsori kemerdekaan rakyatnya. Kegaduhan politik bahkan nampak pula dari berbagai coretan hitam penyelenggaraan musyawarah internal partai yang dijalankan dalam iklim yang mahatransaksional dan mengedepankan emosi.
Korupsi dan berbagai dagelan yang ditunjukkan politikus negeri nampak menegasikan sakralnya peran etika dalam penyelanggaraan berbangsa dan bernegara. Para aparatur negara yang sedang bermasalah dan dalam penanganan kasus tidak jarang mereka berani bicara “kalo saya belum terbukti secara hukum bersalah buat apa mundur”, padahal jelas hukum atau peraturan itu hanyalah formalisasi dari nilai etika, moral, dan agama.
Tabungan moral yang diwarisi oleh para pendahulu semakin menipis, sementara kita masih gugup dan gagap dalam melakukan reinvestasi moral bagi generasi mendatang. Defisit etika para perwakilan rakyat ini mencerminkan sitem perkaderan partai yang mandul.
Tugas anggota dewan sebagai pendidik publik alias public educator telah jauh dan dimentahkan oleh realitas serakahnya dewan dalam mempersolek diri dan mempertahankan kemewahan. Urgensi etika dalam penyelanggaran politik yang bersih adalah hal yang krusial.
Meminjam istilah Franz Magnis bahwa “etika hadir bukan untuk menentukan mengapa seseorang mendukung kebaikan dan menentang keburukan melainkan mengapa ia perlu memilih untuk bersikap demikian”. Selain keruhnya etika politisi yang disuplai oleh mandulnya mesin kaderisasi partai, mundurnya penyelanggaraan politik dan demokrasi disebabkan oleh tatanan politik yang dibingkai dalam istilah politik outsourcing.
Partai telah gagal dalam mendistribusikan kader terbaiknya dalam percaturan politik, sehingga mereka menggunakan nama tokoh yang lebih dikenal masyarakat untuk melancarkan misi kekuasannya. Perhatikan juga bagaimana partai-patai mendompleng nama besar artis dalam menghimpun suara untuk kemenangannya di kontes politik.
Drama perpolitikan negeri ini diisi oleh lakon-lakon konyol yang bermodalkan muka tampan tanpa pertimbangan kapasitas intelektual. Rendahnya IQ politikus tentang penyelengaraan pemerintahan yang baik turut memberikan alasan menapa etika mengalami degradasi yang begitu masif.
Kicauan plotikus yang tidak dibarengi oleh kedalaman pikiran dan argumen sebagai mata uang pemikiran telah berhasil memproduksi kebijakan-kebijakan yang kontra terhadap pemajuan kemanusiaan. Akrobat politik dan tumbangnya etika politikus ini menjadikan warga negara mengalami sindrom galau nasional.
Masyarakat sebagai modalitas sosial dan sumber dari bersemayamnya kedaulatan negeri justru terhempas oleh lantunan hedonisme yang ditawarkan globalisasi. Meminjam istilah Gramsci, masyarakat kita berada pada suasana hegemonik yang dapat membius akal kritis warga negara.
Hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berpikir, dan pandangan pemikiran masyarakat bawah, terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok elite yang mendominasi dan mengekspolitasi mereka. Pendangkalan daya kritis warga negara juga disumbang oleh peran tokoh agama yang tidak revolusioner.
Masyarakat kita hari ini surplus doa dan defisit aksi. Agama yang seharusnya hadir dalam gerakan yang profetis dan kritis justru terjebak dalam ritual-ritual sempit di ruang ibadah.
Masyarakat tidak dapat lagi melihat berbagai problem ini dalam kacamata monokausal. Masyarakat harus berperan aktif dalan mengkoreksi politikus yang hidup dalam rumah demokrasi yang transaksional dan oligarkis.
Reaktivasi etika dan ruang publik adalah salah satu solusi merawat bangsa dengan akal sehat dan spirit warga negara. Etika publik adalah reflieksi kritis tentang standar atau norma yang menentukan baik-buruk dan benar salah suatu tindakan dan keputusan yang mengarahkan pada pencapaian tatanan sistem dan masyarakat yang berkeadaban.
Konsepsi warga negara adalah konsep tentang ruang publik yang memungkinkan masyarakat diakui dalam suatu sistem selagi manusia dapat mengekspresikan diri dalam gagasan dan tindakan. Tindakan yang diinisiasi masyarakat dalam mengawal dinamika perpolitikan negeri adalah manifestasi dari jati diri kemanusiaan.
Andai warga negara diam maka, jelas dia telah mencederai esensi dari kemanusiaan itu sendiri. Urgensi merevitalisasi etika dan ruang publik adalah upaya untuk mengembalikan politik sebagai komitmen bersama dalam membangun monumen politik sehat dan berkemajuan.
Andai politik hanya diselenggarakan dalam ruang ruang privat dan alpa dari kontrol sosial warga negara, maka dapat dipastikan penyelenggaraan negara sedang menuju gerbang kehancuran. Bersama warga negara, harus lahir inisiator-inisiator muda yang bersih dari kepentingan semu politik praksis.
Ruang publik harus segera bergaung dalam kantong-kantong tatanan sosial mayarakat di pedesaan hingga perkotaan. Ruang publik sebagai akses yang dapat memengaruhi secara formal maupun informal perilaku yang ada dalam ruang negara dan politik ini membutuhkan formulasi dialog yang mencerahkan.
Dengan spirit membangun peradaban politik melalui ruang dan etika publik ini, kita semua berharap penyelenggaran demokrasi dan politik berjalan pada jalur yang benar hingga terlahirnya tatanan masyarakat kritis dan pemimpin yang berintegritas.